Monday, July 4, 2016

Perkembangan Kognitif Anak di Sekolah Dasar

Posted by Sampai Mati Harus Belajar On July 04, 2016 | 4 comments
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu usaha manusia dengan penuh tanggung jawab untuk membimbing anak didik menuju kedewasaan dan membekali generasi bangsa (siswa) dengan berbagai kemampuan dan keterampilan hidup, sehingga diharapkan mampu merubah pola pikir masyarakat agar dapat bertahan hidup dan dapat bersaing dengan kehidupan yang penuh perkembangan ilmu pengetahuan.  Fungsi dari pendidikan itu sendiri adalah membimbing anak ke arah tujuan yang kita nilai tinggi.

Arah dan tujuan yang lebih tinggi dapat dicapai jika setiap elemen pendukung pendidikan khususnya guru dan orang tua paham akan perkembangan anaknya.  Salah satu jenis perkembangan yang harus dipahami adalah perkembangan kognitif pada anak. 
Sekarang ini, banyak dari guru dan orang tua kurang memperhatikan perkembangan kognitif anaknya, yang dikarenakan kekurang pahaman pada perkembangan kognitif anak. Banyak dari mereka menggunakan ilmu kira-kira terhadap perkembangan kognitif anak.

1
 
Perlu kita ketahui bersama bahwa perkembangan kognitif pada dasarnya berhubungan dengan konsep-konsep yang dimiliki dan tindakan seseorang, oleh karenanya perkembangan kognitif seringkali menjadi sinonim dengan perkembangan intelektual. Dalam proses pembelajaran sering kali anak dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang menuntut adanya pemecahan. Kegiatan itu mungkin dilakukan anak secara fisik, seperti mengamati penampilan obyek yang berupa wujud atau karakteristik dari obyek tersebut. Tetapi lebih lanjut anak dituntut untuk menanggapinya secara mental melalui kemampuan berfikir, khususnya mengenai konsep, kaidah atau prinsip atas obyek masalah dan pemecahannya. Ini berarti aktivitas dalam belajar tidak hanya menyangkut masalah fisik semata, tetapi yang lebih penting adalah keterlibatannya secara mental yaitu aspek kognitif yang berhubungan dengan fungsi intelektual.
Perkembangan kognitif menjadi sangat penting manakala anak akan dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang menuntut kemampuan berfikir. Masalah ini sering menjadi pertimbangan mendasar di dalam membelajarkan mereka, khususnya yang menyangkut isi atau kurikulum yang akan dipelajarinya.
Peserta didik tidak pernah lepas dari belajar, baik di sekolah maupun dalam lingkungan keluarga. Kemampuan kognitif sangat diperlukan dalam pendidikan. Perkembangan kognitif merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam perkembangan peserta didik. Kita ketahui bahwa peserta didik merupakan objek yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran, sehingga perkembangan kognitif sangat menentukan keberhasilan peserta didik dalam sekolah.
Dalam perkembangan kognitif di sekolah, guru sebagai tenaga pendidik yang bertanggung jawab dalam perkembangan kognitif peserta didik perlu memiliki pemahaman yang sangat mendalam tentang perkembangan kognitif pada peserta didiknya. Hal ini dikarenakan guru merupakan salah satu faktor yang akan membentuk perkembangan kognitif anak.
Orang tua juga tidak kalah penting dalam kognitif anak, karena perkembangan dan pertumbuhan anak dimulai dari lingkungan keluarga. Namun, sebagian pendidik dan orang tua belum terlalu memahami tentang perkembangan kognitif anak, karakteristik perkembangan kognitif, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah perkembangan kognitif anak.
Melalui makalah ini, akan dijelaskan pengertian perkembangan  kognitif, manfaat mengetahui perkembangan kognitif bagi orang tua dan manfaat mengetahui perkembangan kognitif bagi guru.




B.     Rumusan Masalah
  1. Apa  yang dimaksud dengan perkembangan kognitif?
  2. Bagaimana perkembangan kognitif menurut Piaget?
  3. Masalah apa yang berkaitan dengan perkembangan kognitif peserta didik dan bagaimana solusinya?
  4. Apa manfaat mengetahui perkembangan kognitif bagi orang tua?
5.      Bagaimana peran guru dalam memotivasi perkembangan kognitif peserta didik pada proses pembelajaran?
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
  1. mendeskripsikan pengertian perkembangan kognitif.
  2. mendeskripsikan perkembangan kognitif menurut piaget.
  3. mendeskripsikan masalah yang berkaitan dengan perkembangan kognitif peserta didik dan bagaimana solusinya.
  4. mendeskripsikan manfaat mengetahui perkembangan kognitif bagi orang tua.
  5. mendeskripsikan peran guru dalam memotivasi perkembangan kognitif peserta didik pada proses pembelajaran.
D.    Manfaat
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan secara teoretis maupun praktis.
1.      Manfaat Praktis
a.       Berguna sebagai bahan referensi bagi penelitian di masyarakat mendatang sekalipun dalam perspektif yang berbeda sekaligus sebagai bahan pembanding bagi penulis lainnya.
b.      Berguna sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang perkembangan kognitif.


2.      Manfaat Teoretis
a.       Agar orang tua paham akan pentingnya manfaat mengetahui perkembangan kognitif anaknya.
b.      Agar guru paham dalam memotivasi perkembangan kognitif peserta didik pada proses pembelajaran.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Perkembangan Kognitif
1.      Pengertian Perkembangan
Setiap manusia yang terlahir di dunia tentunya akan mengalami perkembangan. Pengetahuan tentang perkembangan anak dapat memberikan harapan yang realistik terhadap anak. Pengetahuan tentang perkembangan dapat membantu kita dalam memberikan respon yang tepat terhadap perilaku tertentu seorang anak. Dalam hal ini, banyak orang belum paham makna perkembangan yang sebenarnya.

5
 
Desmita (2009:9) menjelaskan bahwa perkembangan merupakan serangkaian perubahan yang terus menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju tahap kematangan melalui proses belajar. Hamalik (2010:84) menjelaskan bahwa perkembangan menunjuk pada perubahan yang progresif dalam organism, bukan saja pada perubahan fisik, melainkan dari segi fungsi, misalnya kekuatan dan koordinasi. Perkembangan menurut pandangan dari Dariyo (2011:35) adalah akibat perubahan kematangan dan kesiapan fisik yang memiliki potensi untuk melakukan suatu aktivitas, sehingga individu telah mempunyai suatu kematangan. Syah (2010:40) menyatakan bahwa perkembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan kearah yang lebih maju. Yusuf (2011:15) juga berpendapat perkembangan merupakan perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan. Sistematis berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-bagian organism (fisik dan psikis) dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Contoh prinsip ini, seperti kemampuan berjalan anak seiring dengan matangnya otot-otot kaki, dan keinginan remaja untuk memperhatikan jenis kelamin lain seiring dengan matangnya organ-organ seksual. Progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan mendalam baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis). Sebagai contoh nyata, seperti terjadinya perubahan proporsi dan ukuran fisik anak (dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar); dan perubahan pengetahuan dan kemampuan anak dari yang sederhana sampai kepada yang kompleks. Berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi organism itu berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan atau loncat-loncat. Contohnya, untuk dapat berdiri seorang anak harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya, yaitu kemampuan duduk dan merangkap.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan merupakan serangkaian perubahan secara terus menerus dalam organisme akibat perubahan kematangan dan kesiapan fisik yang memiliki potensi untuk melakukan suatu aktivitas  melalui proses belajar yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan.

2.      Pengertian Kognitif
Menurut Mayers (dalam Desmita, 2009:97), “cognition refers to all the mental activities associated with thinking, knowing and remembering”. Pengertian yang hampir senada juga diberikan oleh Kuper & Kuper (dalam Syaodih, 2012) dijelaskan bahwa kognisi adalah istilah umum yang mencakup segenap mode pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian dan penalaran. Myers (1996) berpendapat bahwa “thinking or cognition is the mental activity associated with processing, understanding, and communicating information … these mental activities, including the logical and sometimes illogical ways in which we create concepts, solve problems, make decision, and from judgments”. Ada yang mengartikan bahwa kognitif adalah tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan. Selain itu kognitif juga dipandang sebagai suatu konsep yang luas dan inklusif yang mengacu kepada kegiatan mental yang terlibat di dalam perolehan, pengolahan, organisasi dan penggunaan pengetahuan. Proses utama yang digolongkan di bawah istilah kognisi mencakup: mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan dan mengingat informasi; mengevaluasi gagasan, menyimpulkan prinsip dan kaidah, mengkhayal kemungkinan, menghasilkan strategi dan berfantasi.
Bila disimpulkan maka kognitif dapat dipandang sebagai konsep luas dan inklusif, mengacu pada kegiatan mental yang mencakup segala bentuk mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan, mengingat informasi, mengevaluasi, menyimpulkan, persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, penalaran.
Proses kognitif penting dalam membentuk pengertian karena berhubungan dengan proses mental dari fungsi intelektual. Hubungan kognisi dengan proses mental disebut sebagai aspek kognitif.
Faktor kognitif memiliki pemahaman bahwa ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili obyek-obyek yang dihadapi dan dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental. Dari pernyataan ini dapat dikatakan bahwa makin banyak pikiran dan gagasan yang dimiliki seseorang, makin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif orang tersebut. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa kognitif merupakan proses mental yang berhubungan dengan kemampuan dalam bentuk pengenalan secara umum yang bersifat mental dan ditandai dengan representasi suatu obyek ke dalam gambaran mental seseorang apakah dalam bentuk simbol, tanggapan, ide atau gagasan dan nilai atau pertimbangan.
Faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar, karena sebahagian besar aktivitasnya dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan berfikir dimana kedua hal ini merupakan aktivitas kognitif yang perlu dikembangkan.
Hal-hal yang termasuk dalam aktivitas kognitif adalah mengingat dan berfikir. Mengingat merupakan aktivitas kognitif dimana orang menyadari bahwa pengetahuan berasal dari kesan-kesan yang diperoleh dari masa lampau. Bentuk mengingat yang penting adalah reproduksi pengetahuan, misalnya ketika seorang anak diminta untuk menjelaskan kembali suatu pengetahuan atau peritiwa yang telah diperolehnya selama belajar. Sedangkan pada saat berfikir anak dihadapkan pada obyek-obyek yang diwakili dengan kesadaran. Jadi tidak dengan langsung berhadapan dengan obyek secara fisik seperti sedang mengamati sesuatu ketika ia melihat, meraba atau mendengar.
Dalam berfikir obyek hadir dalam bentuk representasi, bentuk-bentuk representasi yang paling pokok adalah tanggapan, pengertian, atau konsep dan lambang verbal. Makin berkembang seseorang, makin kayalah anak akan tanggapan-tanggapan. Hubungan atas tanggapan-tanggapan mulai dipahami manakala hubungan yang satu dengan yang lain mulai dipahami secara logis. Perkembangan berikutnya anak akan mampu menentukan hubungan sebab akibat.
3.      Pengertian Perkembangan Kognitif
Berdasarkan pengertian yang telah dibahas sebelumnya, perkembangan merupakan serangkaian perubahan secara terus menerus dalam organisme akibat perubahan kematangan dan kesiapan fisik yang memiliki potensi untuk melakukan suatu aktivitas  melalui proses belajar yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan. Selain itu, kognitif dapat dipandang sebagai konsep luas dan inklusif, mengacu pada kegiatan mental yang mencakup segala bentuk mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan, mengingat informasi, mengevaluasi, menyimpulkan, persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, penalaran.
Desmita (2009:94) menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan istilah yang digunakan oleh para psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya.
Berdasarkan perkembangan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan kognitif merupakan serangkaian perubahan secara dalam organisme akibat perubahan kematangan dan kesiapan fisik yang memiliki potensi untuk melakukan suatu aktivitas  melalui proses belajar mengacu pada kegiatan mental yang mencakup segala bentuk mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan, mengingat informasi, mengevaluasi, menyimpulkan, persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, penalaran dan memikirkan lingkungannya.
B.     Teori Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar itu sendiri. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpisah-pisah tetap mengalir, bersambung-sambung menyeluruh.
Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan sosial dan lingkungan fisiknya. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain seorang anak tadinya memiliki pandangan subjektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi objektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam situasi struktur kegiatan mental. Menurut Jonassen (dalam Suparno, 1997:56), skema merupakan abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk memecahkan masalah. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka berpikir yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang akan membentuk pengetahuan structural seseorang. Pengetahuan structural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antar skema-skema tersebut.
Pentingnya skema adalah bahwa skema mencerminkan fungsi jangka panjang selain sebagai tempat penyimpanan informasi. Dasar teori skema adalah bahwa ingatan seseorang itu dianalisis secara semantic. Schemata disusun dalam bentuk jaringan hubungan konsep-konsep jaringan yang dikenal sebagai jaringan semantik. Jaringan ini menguraikan apa yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk mempelajari konsep-konsep yang baru serta mengembangkan dan mengubah jaringan semantik yang telah ada.
Menurut teori ini, kognisi sebagai kapasitas kemampuan berfikir dan segala bentuk pengenalan, digunakan individu untuk melakukan interaksi dengan lingkungannya. Dengan berfungsinya kognisi mengakibatkan individu memperoleh pengetahuan dan menggunakannya. Pada prosesnya kognisi mengalami perkembangan ke arah kolektivitas kemajuan secara berkesinambungan.
Perkembangan struktur kognisi berlangsung menurut urutan yang sama bagi semua individu. Artinya setiap individu akan mengalami dan melewati setiap tahapan itu, sekalipun kecepatan perkembangan dari tahapan-tahapan tersebut dilewati secara relatif dan ditentukan oleh banyak faktor seperti : kematangan psikis, struktur syaraf, dan lamanya pengalaman yang dilewati pada setiap tahapan perkembangan. Mekanisme utama yang memungkinkan anak maju dari satu tahap pemungsian kognitif ke tahap berikutnya oleh Piaget disebut asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium.
Asimilasi merupakan proses dimana stimulus baru dari lingkungan diintegrasikan pada skema yang telah ada. Dengan kata lain, asimilasi merujuk pada usaha individu untuk menghadapi lingkungan dengan membuatnya cocok ke dalam struktur organism itu sendiri yang sudah ada dengan jalan menggabungkannya. Proses ini dapat diartikan sebagai suatu obyek atau ide baru ditafsirkan sehubungan dengan gagasan atau tindakan yang telah diperoleh anak.
Asimilasi tidak menghasilkan perkembangan atau skemata, melainkan hanya menunjang pertumbuhan skemata. Sebagai suatu ilustrasi, kepada seorang anak diperlihatkan suatu benda yang berbentuk persegi empat sama sisi. Setelah itu diperlihatkan persegi panjang. Asimilasi terjadi apabila anak menjawab persegi panjang adalah persegi empat sama sisi. Jadi persegi panjang diasimilasikan dengan persegi empat sama sisi. Hal ini karena bentuk itu dikenal anak lebih awal sementara persegi panjang diperoleh kemudian. Jika menyangkut masalah ukuran dari bentuk tersebut asimilasi tidak akan terjadi karena tidak cocok dengan gagasan yang telah ada, tetapi jika persegi empat itu dilihat sebagaimana adanya persegi empat maka hal ini merupakan proses akomodasi.
Akomodasi merupakan proses yang terjadi apabila berhadapan dengan stimulus baru, anak mencoba mengasimilasikan stimulus baru itu tetapi tidak dapat dilakukan karena tidak ada skema yang cocok. Dalam keadaan seperti ini anak akan menciptakan skema baru atau mengubah skema yang sudah ada sehingga cocok dengan stimulus tersebut. Akomodasi dapat dikatakan sebagai proses pembentukan skema baru atau perubahan skema yang telah ada, seperti contoh di atas dimana persegi empat dilihat sebagaimana adanya persegi empat.
Akomodasi menghasilkan perubahan atau perkembangan skemata atau struktur kognitif. Asimilasi dan akomodasi berlangsung terus sepanjang hidup. Jika seseorang selalu mengasimilasi stimulus tanpa pernah mengakomodasikan, ada kecenderungan ia memiliki skema yang sangat besar, sehingga ia tidak mampu mendeteksi perbedaan-perbedaan diantara stimulus yang mirip. Sebaliknya jika seseorang selalu mengakomodasi stimulus dan tidak pernah mengasimilasikannya, ada kecenderungan ia tidak pernah dapat mendeteksi perasaan persamaan dari stimulus untuk membuat generalisasi. Oleh karenanya harus terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi yang dikaitkan sebagai equlibrium.
Teknik asimilasi digunakan apabila individu memandang bahwa obyek-obyek atau masalah-masalah baru dapat disesuaikan dengan kerangka berfikir. Sedangkan teknik akomodasi digunakan apabila individu memandang bahwa obyek-obyek kerangka berfikirnya yang ada sehingga harus mengubah strukturnya.
Ekuilibrium menunjuk pada relasi antara individu dan sekelilingnya, terutama sekali pada relasi antara struktur kognitif individu dan struktur sekelilingnya. Di sini ada keadaan seimbang bila individu tidak lagi perlu mengubah hal-hal dalam kelilingnya untuk mengadakan asimilasi dan juga tidak harus mengubah dirinya untuk mengadakan akomodasi dengan hal-hal yang baru.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa perkembangan intelektual atau perkembangan kognitif dapat dipandang sebagai suatu perubahan dari suatu keadaan seimbang ke dalam keseimbangan baru. Setiap tahap perkembangan kognitif mempunyai bentuk keseimbangan tertentu sebagai fungsi dari kemampuan memecahkan masalah pada tahap itu. Ini berarti penyeimbangan memungkinkan terjadinya transformasi dari bentuk penalaran sederhana ke bentuk penalaran yang lebih komplek, sampai mencapai keadaan terakhir yang diwujudkan dengan kematangan berfikir orang dewasa.
Menurut Piaget pertumbuhan mental mengandung dua macam proses yaitu perkembangan dan belajar. Perkembangan adalah perubahan struktur sedangkan belajar adalah perubahan isi. Proses perkembangan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu heriditas, pengalaman, transmisi sosial dan ekuilibrasi.
Heriditas diyakini Piaget tidak hanya menyediakan fasilitas kepada anak yang baru lahir untuk menyesuaikan diri dengan dunianya, lebih dari itu heriditas akan mengatur waktu jalannya perkembangan pada tahun-tahun mendatang. Inilah yang dikenal dengan faktor kematangan internal. Kematangan mempunyai peranan penting dalam perkembangan intelektual, akan tetapi faktor ini saja tidak mampu menjelaskan segala sesuatu tentang perkembangan intelektual.
Pengalaman dengan heriditas fisik merupakan dasar perkembangan struktur kognitif. Dalam hal ini sering kali disebut sebagai pengalaman fisis dan logika matematis. Kedua pengalaman ini secara psikologi berbeda. Pengalaman fisis melibatkan obyek yang kemudian membuat abstraksi dari obyek tersebut. Sedangkan pengalaman logika matematis merupakan pengalaman dimana diabstraksikan bukan dari obyek melainkan dari akibat tindakan terhadap obyek (abstraksi reflektif).
Transmisi sosial digunakan untuk mempresentasikan pengaruh budaya terhadap pola berfikir anak. Penjelasan dari guru, penjelasan orang tua, informasi dari buku, meniru, merupakan bentuk-bentuk transmisi sosial. Kebudayaan memberikan alat-alat yang penting bagi perkembangan kognitif, seperti dalam berhitung atau membaca, dapat menerima transmisi sosial apabila anak ada dalam keadaan mampu menerima informasi. Untuk menerima informasi itu terlebih dahulu anak harus memiliki struktur kognitif yang memungkinkan anak dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan informasi tersebut.
Ekuilibrasi seperti yang telah dikemukakan di atas merupakan suatu keadaan dimana pada diri setiap individu akan terdapat proses ekuilibrasi yang mengintegrasikan ketiga faktor tadi, yaitu heriditas, pengalaman dan transmisi sosial. Alasan yang memperkuat adanya ekuilibrasi yaitu dimana anak secara aktif berinteraksi dengan lingkungan. Sebagai akibat dari interaksi itu anak berhadapan dengan gangguan atau kontradiksi, yaitu apabila situasi pada pola penalaran yang lama tidak dapat menanggapi stimulus. Kontradiksi ini menimbulkan keadaan menjadi tidak seimbang. Dalam keadaan ini individu secara aktif mengubah pola penalarannya agar dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan stimulus baru yang disebut ekuilibrasi.
1.      Tahapan Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Para ahli psikologi perkembangan mengakui bahwa pertumbuhan itu berlangsung secara terus menerus dengan tidak ada lompatan. Penekanan pendidikan dan pengetahuan harus diseimbangkan sesuai dengan aspek perkembangan manusia. Untuk membantu melihat hal tersebut kiranya perlu dilihat perkembangan kognitif pada setiap anak. Piaget (dalam Suparno dkk, 2002:55) membagi perkembangan kognitif seseorang dalam empat tahap: sensorimotor, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal.

Tahap Sensorimotor
Usia 0-2 tahun
Bayi bergerak dari tindakan reflex instinktif pada saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui pengoordinasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik.

Tahap Pra-operasional
Usia 2-7 tahun
Anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Kata-kata dan gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi indrawi dan tindakan fisik.
Tahap Operasional Konkret
Usia 7-11 tahun
Pada saat ini akan dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

Tahap Operasional Formal
Usia 11 tahun – Dewasa
Remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak, logis dan idealistik.

Gambar 2.1 Tahap Perkembangan Kognitif Piaget (dalam desmita, 2009:101)
Tahap sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Tahap ini, mulai pada masa bayi ketika ia menggunakan pengindraan dan aktivitas motorik dalam mengenal lingkungannya. Pada masa ini biasanya bayi keberadaannya masih terikat kepada orang lain bahkan tidak berdaya, akan tetapi alat-alat inderanya sudah dapat berfungsi. Tindakannya berawal dari respon refleks, kemudian berkembang membentuk representasi mental. Anak dapat menirukan tindakan masa lalu orang lain, dan merancang kesadaran baru untuk memecahkan masalah dengan menggabungkan secara mental skema dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Dalam periode singkat antara 18 bulan atau 2 tahun, anak telah mengubah dirinya dari suatu organisme yang bergantung hampir sepenuhnya kepada refleks dan perlengkapan heriditer lainnya menjadi pribadi yang cakap dalam berfikir simbolik. Menurut Piaget, perkembangan kognitif selama stadium sensorimotor, intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulus sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan-tindakan konkrit dan bukan tindakan-tindakan yang imaginer atau hanya dibayangkan saja, tetapi secara perlahanlahan melalui pengulangan dan pengalaman konsep obyek permanen lama-lama terbentuk. Anak mampu menemukan kembali obyek yang disembunyikan.
Pada tahap pra-operasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol dan bahasa. Dengan menggunakan bahasa anak mulai dapat memikirkan yang tidak terjadi sekarang tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat mengungkapkan sesuatu hal lebih luas daripada yang dapat dijamah, yang sekarang dilihatnya. Dalam hal sikap pribadi, anak pada tahap ini masih egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman nilai mulai dapat menggunakan bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan. Riyanto (2012:123) menjelaskan sebagai berikut.
 Pada menjelang akhir tahun ke-2 anak telah mengenal simbol/nama yaitu (1)  Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan bermainnya dengan pengalaman pribadinya dan karenanya ia menjadi egois; (2) anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang membutuhkan berpikir yang dapat dibalik; (3) anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus dan belum mampu bernalar secara induktif dan deduktif; (4) anak bernalar secara tranduktif (dari khusus ke khusus), juga belum membedakan antara fakta dan fantasi; (5) anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat dan isi); (6) menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alas an mengenai apa yang mereka percayai.


Pada tahap operasional konkret, umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan) dan kekekalan. Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda, mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya masih pada hal yang konkret. Anak sudah mengetahui persoalan sebab akibat. Maka dalam penanaman nilai pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibatnya yang baik dan tidak baik.
Adapun pada tahap operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir formal, abstrak. Dia dapat berpikir secara deduktif, induktif dan hipotesis sehingga disebut tahap hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkembangan intelektual. Ia tidak membatasi berpikir pada yang sekarang tetapi dapat berpikir tentang yang akan datang, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah dapat diajarkan. Pada tahap ini dalam penanaman nilai, anak sudah dapat diajak diskusi untuk menemukan nilai yang baik dan tidak baik. Soekamto (dalam Riyanto, 2012: 125) mengaitkan antara teori perkembangan Piaget dengan perkembangan kognisi menurut Brunner sebagai berikut:
a.       Tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan;
b.      Tahap ikonik; anak memahami melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal;
c.       Tahap simbolis, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
2.      Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Perkembangan Kognitif
Bagi perkembangan fungsi kognitif ada empat faktor yang perlu:
a.       Lingkungan fisik, artinya kontak dengan lingkungan fisik perlu karena interaksi antara individu dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru. Namun kontak dengan dunia fisik tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika intelegensi individu dapat memanfaatkan pengalaman tersebut karena itu kematangan sistem syaraf menjadi penting karena memungkinkan anak memperoleh manfaat secara maksimum dari pengalaman fisik;
b.      Kematangan artinya membuka kemungkinan untuk perkembangan sedangkan kalau kurang hal itu akan membatasi secara luas prestasi kognitif. Dicapainya koordinasi tangan dan mata pada bayi, misalnya esensial bagi terbentuknya skema tindakan bayi itu sendiri “meraih, menangkap, menarik”. Meskipun kematangan suatu kondisi yang penting bagi perkembangan kognitif, kejadian-kejadian tertentu itu tidak ditentukan sebelumnya. Perkembangan berlangsung dengan kecepatan yang berlainan, bergantung pada sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan si belajar itu sendiri.
c.       Lingkungan sosial artinya penanaman bahasa dan pendidikan pentingnya lingkungan sosial adalah bahwa pengalaman seperti itu, seperti halnya pengalaman fisik dapat memacu atau menghambat perkembangan struktur kognitif.
d.      Equilibrasi, artinya proses pengaturan bukannya penambahan pada ketiga faktor yang lain. Alih-alih ekuilibrasi mengatur interaksi spesifik dari individu dengan lingkungan maupun pengalaman fisik, pengalaman sosial, dan pengalaman jasmani. Ekuilibrasi menyebabkan perkembangan kognitif berjalan secara terpadu dan tersusun dengan baik.
Beberapa tips untuk mengembangkan kemampuan kognitif pada anak (Wiriana, 2008), antara lain:
a.       Asupan gizi yang memadai dan disesuaikan dengan kebutuhan anak;
b.      Melakukan beberapa latihan fisik dan relaksasi seperti, brain gym; dan
c.       Keluarga sebagai fondasi bagi perkembangan anak ke depan hendaknya mampu menciptakan suasana yang harmonis, hangat dan penuh kasih sayang.

3.      Karakteristik Perkembangan Kognitif
Menurut Desmita (2009:103) karakteristik perkembangan kognitif peserta didik dibagi dalam dua tahap yaitu tahap usia sekolah (SD) dan Remaja (SMP dan SMA).
a.       Usia Sekolah (SD)
Berdasarkan pada teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar masuk dalam tahap pemikiran kongkret-operasional, yaitu masa dimana aktivitas mental anak terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah dialaminya. Menurut Piaget (dalam Desmita, 2009:104), operasi adalah hubungan-hubungan logis di antara konsep-konsep atau skema-skema. Sedangkan operasi kongkret adalah aktifitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa nyata atau kongkrit dapat di ukur.
Anak-anak pada masa operasional kongkret (masa sekolah SD) telah mampu menyadari konservasi, yakni kemampuan anak untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak. Hal ini karena pada masa ini anak telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan operasi-operasi: negasi, resiprokasi dan identitas.

1)      Negasi (Negation)
Pada masa pra-opersional anak hanya melihat keadaan permulaan dan akhir dari deretan benda, dengan kata lain mereka hanya mengetahui permulaan dan akhirnya saja tetapi belum memahami alur tengahnya. Tetapi pada masa kongkret opersional, anak memahami proses apa yang terjadi diantara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
2)      Hubungan Timbal Balik (Resiprokasi)
Ketika anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang, tetapi tidak rapat lagi dibandingkan dengan deretan lain. Karena anak mengetahui hubungan timbale balik antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya kurang panjang tetapi lebih rapat, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-benda yang ada pada kedua deretan itu sama. Desmita (2009:105). Sehingga dalam masa ini anah mulai mengerti tentang hubungan timbal balik.
3)      Identitas
Gunaris (dalam Desmita, 2009:73) menjelaskan bahwa pada usia sekolah dasar, anak sudah mengetahui berbagai benda  yang berada dalam suatu deretan, bisa menghitung, sehingga meskipun susunan dalam deret di pindah, anak tetap mengetahui jumlahnya sama. Jadi, anak pada usia sekolah (masa Konkrit operasional) dapat mengetahui identitas berbagai benda dan mulai memahami akan susunan dan urutan tertentu.
b.      Remaja (SMP dan SMA)
Pada masa remaja, kemampuan anak sudah semakin berkembang hingga memasuki tahap pemikiran operasional formal. Lerner & Hustlsch (dalam Desmita, 2009:75) menjelaskan bahwa suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11 dan 12 tahun dan terus berlanjut sampai usia remaja  sampai masa dewasa. Pada masa remaja, anak sudah mampu berfikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang sudah tersedia.
Pada masa remaja, anak sudah mampu berfikir secara abstrak dan hipotesis, sehingga ia mampu berfikir apa yang terjadi atau apa yang akan terjadi. Mereka sudah mampu berfikir masa akan datang dan mampu menggunakan symbol untuk sesuatu benda yang belum diketahui.


4.      Penerapan Prinsip Teori Perkembangan Kognitif dalam Pembelajaran
Menurut Piaget, manusia tumbuh beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosioemosional, perkembangan kognitif (berpikir), dan perkembangan bahasa.
Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung pada sejauh mana anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Implikasi teori Piaget dalam pembelajaran di sekolah yaitu:
a.       Memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, dan tidak sekedar pada hasilnya. Disamping kebenaran jawaban  siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak. Pengalaman-pengalaman belajar siswa yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap kognitif siswa yang mutakhir, dan hanya apabila guru penuh perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman sesuai yang dimaksudkan.
b.      Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran, menurut Piaget, penyajian pengetahuan dan di dalam kelas tidak ada penekanan melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempersiapkan beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.
c.       Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu, guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu dan kelompok kecil siswa daripada dalam bentuk kelas itu.
Penerapan teori Piaget dalam pembelajaran berarti secara terus menerus menggunakan demonstrasi dan merepresentasikan ide secara fisik. Perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan informasi terpisah namun untuk memahami lingkungan mereka, sehingga prinsip belajar kognitif yang banyak dipakai dalam perancangan dan pengembangan sistem intruksional adalah sebagai berikut:
a.       Siswa akan lebih mengingat dan memahami suatu pelajaran apabila pelajaran tersebut disusun dengan baik berdasarkan pola dan logika tertentu;
b.      Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang lebih sulit. Untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik siswa yang harus terlebih dahulu menguasai tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana/mudah;
c.       Belajar dengan pemahaman adalah lebih baik daripada dengan hafalan tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang akan dipelajari siswa dengan apa yang diketahui sebelumnya;
d.      Kepada siswa perlu diberikan suatu umpan balik kognitif dengan kata lain siswa harus mengetahui keberhasilan atau kegagalan dalam tugas melaksanakan tugas yang diberikan; dan
e.       Adanya perbedaan individual perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan-perbedaan ini mencakup kemampuan intelektual, kepribadian serta kebutuhan akan sukses dan cara berpikir.

5.      Kekuatan dan Kelemahan Teori Perkembangan Kognitif
Setiap teori pasti memiliki kelebihan yang menjadi ciri utama, tetapi juga mempunyai kelemahan yang harus dipahami.

a.    Kekuatan
1)      Teori ini mengarahkan guru untuk mengenal struktur kognitif siswa secara individu sehingga dapat lebih mengembangkan kemampuan siswa;
2)      Teori ini juga menjelaskan tingkat perkembangan kognitif manusia mulai bayi hingga dewasa sehingga memudahkan untuk memilih pelajaran yang tepat bagi anak diusia tertentu; dan
3)      Teori ini cocok untuk mempelajari pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan dan untuk berkreasi menciptakan sesuatu bentuk atau ide baru.
b.    Kelemahan
1)      Teori ini dianggap lebih dekat kepada psikologi belajar, sehingga aplikasinya dalam proses belajar menjadi tidak mudah;
2)      Teori ini dianggap sukar dipraktikkan secara murni sebab seringkali kita tidak mungkin memahami struktur kognitif tersebut menjadi bagian-bagian yang jelas batasannya. Sering juga pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa itu sudah terlalu kompleks untuk identifikasi secara tuntas, apabila hanya dengan menggunakan satu dua pretest.
C.    Masalah Perkembangan Kognitif  Pada Peserta Didik
Dalam suatu perkembangan, antara individu satu dengan lainnya tentunya tidak sama. Ada yang memiliki perkembangan sangat cepat dan juga ada yang lambat. Masalah perkembangan kognitif pada peserta didik merupakan hal yang tidak mungkin untuk dipungkiri.
Salah satu tugas yang cukup sulit bagi guru adalah ketika harus merencanakan, mendisain dan mengadakan pusat sumber belajar yang sesuai dengan metode pengembangan kognitif yang tepat untuk tingkat kemampuan anak-anak yang berbeda dalam satu kelas. Kenyataan di lapangan tidak semua guru mempunyai pemahaman yang sama dalam menginterpretasikan metode pengembangan kognitif. Dimana strategi yang diberikan bersifat monoton. Hal ini tentunya sangat berhubungan pada pembelajaran yang berpusat pada anak.
Anak dengan masalah perkembangan kognitif adalah anak yang mengalami gangguan di satu atau lebih proses dasar psikologi termasuk, memahami dan menggunakan bahasa (verbal dan tulisan), yang berdampak pada kemampuan mendengar, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan kalkulasi matematika. Termasuk juga gangguan persepsi, kerusakan otak, fungsi minimal otak, disleksia, dan aphasia. Penyebab terjadinya masalah perkembangan kognitif pada seorang anak adalah:
1.      Faktor fisiologis, seperti kerusakan otak, keturunan, dan ketidak seimbangan proses kimia dalam tubuh.
2.      Faktor lingkungan, gizi yang buruk, keracunan, kemiskinan.
Karakteristik dari anak dengan masalah perkembangan kognitif adalah:
1.      Berkaitan dengan atensi, persepsi, gangguan memori, proses informasinya.
2.      Secara akademik, bermasalah pada kegiatan membaca, menulis, matematika dan berbahasa verbal.
3.      Secara sosial dan emosional, umumnya memiliki harga diri yang rendah karena dianggap sebagai anak yang tidak mampu. Dengan kesulitannya ini anak menjadi mengganggap dirinya tidak mampu untuk melakukan sesuatu.
4.      Secara perilaku, mereka menjadi sulit untuk mengendalikan gerak tubuhnya, tidak mau duduk diam, berbicara terus, melakukan agresi fisik dan verbal.
Proses identifikasi, apabila ditemukan anak dengan ciri-ciri seperti yang telah diuraikan di atas, maka orangtua atau guru harus segera membawa ke ahlinya agar mendapat penanganan yang lebih tepat. Semakin dini penanganannya maka semakin besar kemungkinan anak untuktumbuh dan bekembang seperti anak normal pada umumnya.
Salah satu masalah perkembangan kognitif yang banyak muncul adalah gangguan kesulitan pemusatan perhatian. Ciri-ciri dari anak yang mengalami kesulitan pemusatan perhatian tersebut adalah
1.      Menghindari, enggan dan mengalami kesulitan melaksanakan tugas- tugas yang membutuhkan ketekunan yang berkesinambungan;
2.      Sering menghilangkan benda-benda yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas atau kegiatan lain. Sering sulit mempertahankan dan memusatkan perhatian pada waktu melaksanakan tugas atau kegiatan bermain (perhatian mudah teralih);
3.      Seperti tidak mendengarkan pada waktu diajak berbicara secara langsung;
4.      Mengalami kesulitan berkonsentrasi di dalam kelas;
5.      Sering sulit mengatur tugas dan kegiatan-kegiatan;
6.      Pelupa dengan kegiatan sehari-hari;
7.      Pada waktu melaksanakan tugas, tampak sering melamun atau bengong;
8.      Tidak mampu mengikuti perintah atau gagal menyelesaikan tugas sekolah;
9.      Sering mencari alasan untuk berhenti sejenak pada waktu melaksanakan tugas;
10.  Mengerjakan tugas-tugas secara sembarangan;
Dalam lingkup anak berkebutuhan khusus juga dikenal istilah Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) yang secara umum dapat diidentifikasi dari tiga hal, yaitu tidal perhatian (inattention), hiperaktif, dan impulsif. Tidal perhatian berarti anak mengalami kesulitan memusatkan dan mempertahankan perhatian terhadap tugas yang diberikan sehingga perhatiannya mudah teralihkan. Hiperaktif berarti anak tampak memiliki energi yang besar sekali sehingga cenderung mudah gelisah dan sulit untuk bersikap tenang dalam mengerjakan suatu aktivitas. Impulsif berarti anak cenderung mengalami kesulitan mencegah perilaku yang tidal sesuai seperti berbicara secara spontan tanpa dipikirkan terlebih dulu atau terlibat dalam perilaku yang destruktif. Ciri-ciri anak Hiperakvfiras dan Impulsfiras adalah
1.        Selalu dalam keadaan `siap gerak;
2.    Tidak bisa duduk diam;
3.    Mudah terangsang dan impulsif;
4.    Sulit dikendalikan;
5.    Sering berbicara berlebihan;
6.    Sering menimbulkan kegaduhan;
7.    Mudah mengalami kecelakaan;
8.    Barang-barang dan alat bermain yang dipakai sering rusak;
9.    Sering melontarkan jawaban sebelum selesai ditanyakan;
10.    Meninggalkan tempat duduk di kelas;
11.    Tidak dapat duduk tenang;
12.    Sulit menunggu giliran;
13.    Sering memaksakan diri terhadap orang lain;
14.    Perilaku agresif, mudah overstimulasi;
15.    Tidak matang secara sosial;
16.    Rendah harga diri dan sangat mudah frustrasi;

D.    Manfaat Mengetahui Perkembangan Kognitif Bagi Orang Tua
Keluarga merupakan satu kesatuan hidup yang menyediakan segala situasi. Sebagai satu kesatuan hidup bersama (sistem sosial)  keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ikatan kekeluargaan membantu anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antarpribadi, kerjasama, disiplin, tingkah laku yang baik serta pengnakuan akan kewibawaan.
Ayah dan ibu dalam suatu keluarga disebut juga dengan orang tua. Hasbullah (2011:88) menjelaskan bahwa sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sangat wajar dan logis jika tanggung jawab perkembangan anak terletak di tangan orang tua, karena ia adalah darah dagingnya.
Perkembangan kognitif sendiri sudah dapat dipersiapkan sejak dalam kandungan sampai dewasa. Asupan gizi yang sehat dan seimbang menjadi fondasi bagi perkembangan kognitif. Calon bayi juga dapat dirangsang dengan cara memberikan stimulus atau rangsangan seperti, mengajak bercakap-cakap, mendengar musik, melakukan relaksasi, menjaga stabilitas emosi pada ibu. Setelah lahir, rangsangan yang diberikan juga tetap diberikan. Dalam hal ini tugas dari orang tua untuk mengetahui perkembangan kognitif anak sangat diperlukan.
Salah satu perkembangan fisik yang mempengaruhi perkembangan kognitif adalah perkembangan otak (Wiriana, 2008). Otak berkembang paling pesat pada masa bayi. Pada masa kanak-kanak otak tidak bertumbuh dan berkembang sepesat masa bayi. Pada masa awal kanak-kanak, perkembangan otak dan sistem syaraf berkelanjutan. Otak dan kepala bertumbuh lebih pesat daripada bagian tubuh lainnya.  Bertambah matangnya otak, dikombinasikan dengan kesempatan untuk mengalami suatu pengalaman melalui rangsangan dari lingkungan menjadi sumbangan terbesar bagi lahirnya kemampuan-kemampuan kognitif pada anak. Artinya, perkembangan kognitif menjadi optimal jika ada kematangan dalam pertumbuhan otak serta ada rangsangan dari lingkungannya.
Kasih sayang merupakan suatu aspek penting dari relasi keluarga pada masa bayi yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif pada anak ke depannya (Wiriana, 2008). Penting diperhatikan bahwa kasih sayang pengasuh pada tahun-tahun pertama kehidupan anak menjadi kunci pada perkembangan selanjutnya. Seorang pakar psikologi perkembangan, Diana Baumrind meyakini bahwa orang tua hendaknya tidak menghukum atau mengucilkan anak namun sebagai gantinya orang tua harus mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang pada anak. Jika setiap orang tua paham perkembangan kognitif anak, maka ia akan:
1.      Memberikan pola asuh yang baik pada anak;
2.      Memberi asupan gizi yang tepat pada anak;
3.      Menciptakan suasana kondusif di dalam keluarga;
4.      Melayani anak untuk belajar dengan sepenuh hati;
5.      Orang tua membantu belajar anak tersebut;
6.      Orang tua memberikan beberapa latihan fisik dan relaksasi seperti, brain gym;
7.      Orang tua memberi banyak cinta, kasih sayang dan disiplin;
8.       Memberikan Penghargaan atas Keberhasilan anak;
9.      Memasukkan anak tersebut kedalam lembaga bimbingan.

E.     Peran Guru dalam Memotivasi Perkembangan Kognitif Peserta Didik Pada Proses Pembelajaran
1.      Perkembangan Kognitif Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran
Dalam suatu proses pembelajaran pasti terdapat guru. Hamalik (2010:40) menyatakan bahwa guru adalah pribadi kunci (key person) di kelas karena besar pengaruhnya terhadap perilaku dan belajar para siswa, yang memiliki kecenderungan meniru dan beridentifikasi. Hal-hal yang berpengaruh itu antara lain adalah otoritas akademis dan non akademis, kesehatan, mental, kesenangan, cita-cita dan sikap, suasana kelas yang diciptakan oleh guru dan tindakannya. Guru memegang peranan penting dalam upaya mencapai tujuan pendidikan, dan karenanya peningkatan mutu guru sangat penting. Kepribadian guru juga berpengaruh secara langsung dan kumulatif terhadap perilaku siswa.
Dalam proses pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada berbagai dinamika yang berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Perubahan perkembangan yang terjadi pada peserta didik harus mendapat perhatian dari guru, karena beranjak dari pemahaman ini guru dapat memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Pada proses pembelajaran, guru juga harus memperhatikan soal yang digunakan untuk evaluasi hasil belajar. Purwanto (2011:50) menjelaskan bahwa hasil belajar kognitif merupakan perubahan perilaku yang terjadi dalam wawasan kognisi. Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi kegiatan sejak dari penerimaan stimulus eksternal oleh sensori, penyimpangan dan pengolahan dalam otak menjadi informasi hingga pemanggilan kembali informasi ketika diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Hasil belajar kognitif tidak merupakan kemampuan tunggal. Kemampuan yang menimbulkan perubahan perilaku dalam domain kognitif melalui beberapa tingkat atau jenjang. Arikunto (1995: 137) membagi dan menyusun secara hierarkis tingkat hasil belajar kognitif dari yang paling sederhana hingga yang kompleks. Tingkatan itu adalah hafalan/pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5) dan evaluasi (C6). 
Kemampuan menghafal/pengetahuan (knowledge) merupakan tingkatan hasil belajar yang paling sederhana. Kemampuan ini merupakan kemampuan memanggil kembali fakta yang disimpan dalam otak digunakan untuk merespon suatu masalah. Tuntutan siswa pada tingkatan ini adalah mendefinisikan, mendeskripsikan, mengidentifikasikan, mendaftarkan, menjodohkan, menyebutkan, menyatakan dan mereproduksi. Kemampuan pemahaman (comprehension) adalah kemampuan untuk melihat hubungan fakta dengan fakta. Kemampuan pemahaman menuntut agar peserta didik dapat mempertahankan, membedakan, menduga, menerangkan, menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberi contoh, menuliskan kembali dan memperkirakan. Kemampuan penerapan (application) adalah kemampuan kognitif untuk mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, menemukan, memanipulasi, memodifikasi, mengoprasikan, meramalkan, menyiapkan, menghasilkan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan dan menggunakan. Kemampuan analisis (analysis) adalah kemampuan memperinci, menyusun diagram, membedakan, mengidentifikasi, mengilustrasikan, menyimpulkan, menunjukkan, menghubungkan, memilih, memisahkan dan membagi. Kemampuan sintesis (synthesis) adalah kemampuan untuk mengategorikan, mengombinasikan, mengarang, menciptakan, membuat desain, memodifikasi, mengorganisasikan, menyusun, membuat rencana, mengatur kembali, merekonstruksi, menghubungkan, mengorganisasikan, merevisi, menuliskan kembali dan menceritakan. Kemampuan evaluasi (evaluation) adalah kemampuan untuk menilai, membandingkan, menyimpulkan, mempertentangkan, memutuskan, menafsirkan, menghubungkan, dan membantu (support).
Kecerdassan dan kemampuan berpikir yang dimiliki peserta didik kebanyakan ada yang tidak dikembangkan dengan baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kecakapan kognitif peserta didik meliputi (Syah, 2011: 83):
a.       Dorongan dari Luar (motif ekstrinsik)
Dorongan dari luar mengakibatkan peserta didik belajar hanya untuk mencapai kelulusan. Mereka kebanyak tidak berkeinginan untuk lebih menguasai materi pelajaran secara mendalam karena tujuan mereka adalah untuk lulus atau naik kelas saja. Dorongan dari luar bisa datang dari pihak sekolah dan orang tua.
b.      Dorongan dari dalam diri peserta didik (motif intrinsik)
Motif intrinsik biasanya berhubungan dengan minat peserta didik terhadap materi pelajaran. Dorongan dari dalam diri berarti peserta didik memang tertarik dan membutuhkan materi-materi pelajaran yang diberikan oleh guru.
2.      Peran Guru dalam Memotivasi Perkembangan Kognitif Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran
Perkembangan kognitif peserta didik dalam proses pembelajaran tidak bisa lepas dari peran guru sebagai tenaga pendidik. Untuk mengembangkan kecerdasan dan kemampuan berpikir peserta didik tidak hanya bisa dilakukan oleh peserta didiknya saja melainkan juga bisa dari peran guru. Guru bisa memberi motivasi atau dorongan-dorongan kepada peserta didik agar mereka bisa memanfaatkan kecerdasan kognitifnya.
Pemberian motivasi merupakan hal yang penting dalam proses pembelajaran. Motivasi dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan kognitif peserta didik. Peserta didik yang mendapat motivasi lebih banyak akan lebih terdorong untuk selalu mengembangkan kemampuannya. Peserta didik akan lebih rajin belajar dan aktif dalam proses pembelajaran. Motivasi merupakan salah satu syarat dalam proses pembelajaran yang efektif.
Apabila guru dapat memotivasi peserta didik dengan menggunakan cara-cara dengan baik, peserta didik akan dengan mudah mengembangkan kemampuan kognitifnya. Upaya pengembangan fungsi ranah kognitif akan berdampak positif  juga terhadap ranah afektif dan pikomotor peserta didik (Syah, 2011:83).
Salah satu fungsi motivasi dalam kegiatan belajar adalah fungsi membangkitkan (arousal function). Fungsi membangkitkan diartikan sebagai kesiapan atau perhatian umum siswa yang diusahakan oleh guru untuk mengikutsertakan peserta didik dalam belajar. Untuk mengembangkan kecerdasan kognitif peserta didik, guru bisa mengajak peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran. Peserta didik harus dilatih untuk terus menggunakan kecerdasan kognitifnya.
Dengan adanya motivasi, peserta didik akan terdorong untuk selalu mengembangkan kemampuan kognitifnya. Motivasi juga akan dapat membangkitkan keinginan peserta didik untuk terus merubah perilakunya menjadi lebih baik. Fungsi motivasi menurut Hamalik (2003:161) meliputi berikut ini:
a.       Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perubahan;
b.      Motivasi berfungsi sebagai pengarah;
c.       Motivasi berfungsi sebagai penggerak.
Motivasi sendiri dapat timbul dari dalam diri individu atau peserta didik dan dapat juga timbul dari luar diri peserta didik. Menurut pendapat Usman (1991:24) Motivasi terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
a.    Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik timbul dari dalam diri peserta didik tanpa adanya pengaruh dari luar. Motivasi ini timbul atas kemauan peserta didik sendiri.
b.    Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik timbul karena pengaruh dari luar peserta didik. Cara membangkitkan motivasi ekstrinsik dalam rangka menumbuhkan motivasi instrinsik adaalah:
1)      Kompetisi (persaingan): guru menciptakan persaingan diantara peseta didik untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
2)      Minat yang besar: Motif akan timbul jika peserta didik memiliki minat yang besar terhadap materi pelajaran.
3)      Mengadakan penilaian atau tes: pada umumnya semua peserta didik mau belajar dengan tujuan memperoleh nilai yang baik. Jadi, angka atau nilai merupakan motivasi yang kuat bagi siswa.
Tugas guru dalam hal ini adalah menggunakan pendekatan mengajar yang memungkinkan peserta didik menggunakan strategi belajar yang berorientasi pada pemahaman terhadap isi materi pelajaran. Selanjutnya, guru juga harus mengajak peserta didiknya untuk memecahakan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliknya (Syah, 2011:84). Dengan memberikan sebuah topik permasalahan yang menarik untuk dibahas akan membangkitkan peserta didik untuk berpartisipasi dalam memecahkan permasalahan tersebut.
Peran guru dalam proses pembelajaran sangat banyak. Peranan yang dianggap dominan (Usman, 1991:7) dalam memotivasi perkembangan kecerdasan peserta didik adalah:
a.       Guru sebagai demonstrator
Guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan disampaikan. Sebagai pengajar guru harus membantu perkembangan anak didiknya untuk dapat menerima, memahami, serta menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu guru hendaknya mampu memotivasi peserta didik untuk senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan.
b.      Guru sebagai pengelola kelas
Sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas karena kelas merupakan lingkungan belajar. Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas bagi bermacam-macam kegiatan belajara dan mengajar agar mencapai tujuan yang baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menggunakan alat-alat belajar dan membantu peserta didik untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
c.       Guru sebagai mediator dan fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena pendidikan merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar mengajar.
d.      Guru sebagai evaluator
Penilaian perlu dilakukan karena dengan penilaian guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan peserta didik terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metodemengajar.

Guru juga bisa menggunakan cara lain untuk mendorong peserta didik agar selalu menggunakan kemampuan berpikirnya. Peserta didik harus diajak untuk selalu belajar agar kemampuan berpikirnya terus berkembang. Guru dapat menggerakan atau membangkitkan motivasi belajar peserta didiknya dengan berbagai cara seperti berikut (Hamalik, 2003:166).
a.       Memberi angka
Peserta didik yang mendapat angka atau nilai yang baik akan mendorong motivasi belajarnya menjadi lebih besar. Sebaliknya peserta didik yang mendapat nilai kurang, mungkin menimbulkan frustasi atau dapat juga menjadi pendorong agar belajar lebih baik. Hal ini tergantung dari bagaimana peserta didik menyikapi hal tersebut. Jika peserta didik tersebut tidak mudah putus asa, nilai yang jelek akan lebih memotivasi peserta didik untuk lebih giat belajar.
b.      Pujian
Pemberian pujian kepada peserta didik atas hal-hal yang telah dilakukan dengan berhasil besar manfaatnya sebagai pendorong belajar. Pujian menimbulkan rasa puas dan senang. Dengan pujian tersebut peserta didik akan terdorong untuk terus mengembangkan kecerdasannya dengan giat belajar dan aktif dalam proses pembelajaran.
c.       Hadiah
Cara ini dapat dilakukan oleh guru dalam batas-batas tertentu, misalnya pemberian hadiah kepada peserta didik yang menunjukkan hasil belajar yang baik. Dengan cara ini peserta didik akan berlomba-lomba untuk terus meningkatkan keceradasannya dengan selalu giat belajar, berpikir untuk memecahkan sebuah masalah dsb.
d.      Kerja kelompok
Dalam kerja kelompok dilakukan kerja sama dalam belajar. Setiap anggota kelompok biasanya memiliki perasaan untuk mempertahankan nama kelompoknya sehingga hal ini menjadi pendorong yang kuat dalam proses pembelajaran.
e.       Penilaian
Penilaian secara kontinu atau berkelanjutan akan mendorong peserta didik untuk belajar karena setiap peserta didik memiliki kecenderungan untuk memperoleh hasil yang baik. Disamping itu, peserta didik selalu mendapatkan tantangan dan masalah yang harus dihadapi dan dipecahkan sehingga mendorong belajar lebih teliti.
f.       Karyawisata dan ekskursi
Cara ini dapat membangkitkan motivasi belajar karena dalam kegiatan ini peserta didik akan mendapat pengalaman langsung dan bermakna baginya. Objek-objek yang dikunjungi haruslah objek yang menarik minat peserta didik. Karyawisata juga bermanfaat untuk menghilangkan ketegangan-ketegangan dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat belajar dengan suasana yang menyenangkan.



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Perkembangan kognitif merupakan serangkaian perubahan secara dalam organisme akibat perubahan kematangan dan kesiapan fisik yang memiliki potensi untuk melakukan suatu aktivitas  melalui proses belajar mengacu pada kegiatan mental yang mencakup segala bentuk mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan, mengingat informasi, mengevaluasi, menyimpulkan, persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, penalaran dan memikirkan lingkungannya.
2.      Mekanisme utama yang memungkinkan anak maju dari satu tahap pemungsian kognitif ke tahap berikutnya oleh Piaget disebut asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium. Proses perkembangan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu heriditas, pengalaman, transmisi sosial dan ekuilibrasi. Piaget  membagi perkembangan kognitif seseorang dalam empat tahap: sensori motor (0-2 tahun), pra operasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasional formal (11 tahun-dewasa). perkembangan fungsi kognitif ada empat faktor yaitu: (a) lingkungan fisik; (b) kematangan; (c) lingkungan sosial; dan (d) equilibrasi. Penerapan prinsip teori perkembangan kognitif dalam pembelajaran, yaitu dengan: (a) memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak; (b) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri; dan (c) Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.
3.     

35
 
Penyebab terjadinya masalah perkembangan kognitif pada seorang anak adalah faktor fisiologis dan faktor lingkungan. Salah satu masalah perkembangan kognitif yang banyak muncul adalah gangguan kesulitan pemusatan perhatian dengan ciri-ciri (a) menghindari, enggan dan mengalami kesulitan melaksanakan tugas- tugas; (b) kesulitan berkonsentrasi di dalam kelas; dan (c) pelupa dengan kegiatan sehari-hari. Dalam lingkup anak berkebutuhan khusus secara umum dapat diidentifikasi dari tiga hal, yaitu tidal perhatian (inattention), hiperaktif, dan impulsif.
4.      Manfaat orang tua dalam memahami perkembangan kognitif anak adalah orang tua akan selalu memberikan pelayanan terbaik bagi anaknya. Pelayanan terbaik dilakukan dengan cara (a) memberikan pola asuh yang baik pada anak; (b) memberi asupan gizi yang tepat pada anak; (c) menciptakan suasana kondusif di dalam keluarga; (d) melayani anak untuk belajar dengan sepenuh hati; (e) orang tua membantu belajar anak tersebut; (f) memberikan beberapa latihan fisik dan relaksasi; (g) memberi banyak cinta, kasih sayang dan disiplin; (h) memberikan Penghargaan atas Keberhasilan anak; dan (i) memasukkan anak tersebut kedalam lembaga bimbingan jika masih dirasa kurang.
5.      Peran guru perkembangan kognitif peserta didik pada proses pembelajaran antara lain dengan menyusun instrument hasil belajar dengan memperhatikan enam tingkatan hasil belajar kognitif. Enam tingkatan tersebut adalah hafalan/pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5) dan evaluasi (C6). Selain itu, guru juga memberi motivasi pada siswa. Guru menggerakan atau membangkitkan motivasi belajar peserta didik dengan cara (a) memberi angka; (b) pujian; (c) hadiah; (d) kerja kelompok; (e) penilaian; dan (f) karyawisata.

B.     Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah dikaji, penulis dapat menganjurkan saran sebagai berikut:
1.      Guru dan orang tua wajib memahami perkembangan kognitif anak.
2.      Peran serta pemerintah, masyarakat, pengajar, dan orang tua perlu untuk mengawasi perkembangan kognitif setiap anak dan peserta didik.




DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1995. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Dariyo, Agoes. 2011. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung: PT Refika Aditama

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosdakarya

Hamalik, Oemar. 2010. Psikologi Belajar & Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Hasbullah. 2011. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press

Myers. 1996. Perkembangan Kognitif”. Dalam https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=jurnal+internasional+perkembangan+kognitif . Diakses 20 Oktober 2014

Purwanto, Ngalim. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Surakarta: Pustaka Pelajar

Riyanto, Yatim. 2012. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta. Anisius

Suparno, Paul, dkk. 2002. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah. Yogyakarta: Kanisus

Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakarya

Syaodih, Ernawulan. 2012. Psikologi Perkembangan”. Dalam http://makalahpsikologi+perkembangan+ernawulansyaodih. Diakses 20 Oktober 2014.

Usman, Moh Uzer. 1991. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yusuf, Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya


Wiriana, 2008. Perkembangan kognitif pada anak. Dalam http://www.doctoc.com/docs/20992333/perkembangankognitif-padaanak. Diakses 20 Oktober 2014. 

4 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. terimakasih sebelumnya, saya bertanya dimana anda mengekspos solusi dari permasalahan? dalam rumusan masalah ada solusi. tetapi dalam pemnbahasan belum ada.

    ReplyDelete
  3. yah maaf mbak, mngkin pada sya upload, kehapus...maaf yah terima kasih masukannya

    ReplyDelete

Blogroll

×

About