Wednesday, July 28, 2010

bimbingan bagi anak kesulitan belajar membaca

Posted by Sampai Mati Harus Belajar On July 28, 2010 | 1 comment
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membaca merupakan salah satu komponen dan sistem komunikasi. Membaca merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh semua anak karena melalui membaca anak dapat belajar banyak tentang berbagai bidang studi. Oleh karena itu, membaca merupakan keterampilan yang harus diajarkan sejak anak masuk SD dan kesulitan belajar membaca harus secepatnya diatasi.
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan membaca. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu adalah berbagai pengaruh lingkungan. Kesulitan belajar tampil sebagai suatu kondisi ketidak mampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya. Kesulitan belajar menunjukkan pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam menulis dan membaca.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah hakikat membaca?
2. Bagaimanakah hakikat kesulitan belajar membaca?
3. Bagaimanakah assesmen kesulitan belajar membaca?
4. Bagaimanakah metode pengajaran membaca?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:
1. Memahami hakikat membaca.
2. Memahami hakikat kesulitan belajar membaca.
3. Memahami assesmen belajar membaca.
4. Mengetahui metode pengajaran membaca.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Membaca
Meskipun media noncetak (televisi) telah banyak menggantikan media cetak (buku), kemampuan membaca masih memegang peranan penting dalam kehidupan manusia modern. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat, manusia harus terus menerus memperbaharui pengetahuan dan keterampilannya. Pengetahuan dan keterampilan tersebut sebagian besar diperoleh melalui pembaca. Dalam kehidupan modern, jika tidak terus-menerus memperbarui pengetahuan dan keterampilannya, orang mungkin akan mengalami kesulitan dalam memperoleh lapangan pekerjaan yang layak.
Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya. Oleh karena itu, anak harus belajar membaca agar ia dapat membaca untuk belajar (Lerner, 1988:349).
Meskipun membaca merupakan suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan, tetapi ternyata tidak mudah untuk menjelaskan hakikat membaca. A. S. Broto (1975:10) mengemukakan bahwa membaca bukan hanya mengucapkan bahasa tulisan atau lambang bunyi bahasa, melainkan juga menanggapi dan memahami isi bahasa tulisan. Dengan demikian, membaca pada hakikatnya merupakan suatu bentuk komunikasi tulis.
Bertolak dari berbagai definisi membaca yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa membaca merupakan aktifitas kompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktivitas fisik yang terkait dengan membaca adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan. Aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman. Orang dapat membaca dengan baik jika mampu melihat huruf-huruf dengan jelas, mampu menggerakkan mata secara lincah, mengingat simbol-simbol bahasa yang tepat, dan memiliki penalaran yang cukup untuk memahami bacaan.
Meskipun tujuan akhir membaca adalah untuk memahasi isi bacaan, tujuan semacam itu ternyata belum dapat sepenuhnya dicapai oleh anak-anak, terutama pada saat awal belajar membaca. Banyak anak yang dapat membaca secara lancar suatu bahan bacaan tetapi tidak memahami isi bahan bacaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca bukan hanya terkait erat dengan kematangan gerak motorik mata tetapi juga tahap perkembangan kognitif. Mempersiapkan anak untuk belajar membaca merupakan suatu proses yang panjang.
Tahap membaca permulaan umumnya dimulai sejak anak masuk kelas satu SD, yaitu pada saat berusia sekitar enam tahun. Meskipun demikian, ada anak yang sudah belajar membaca lebih awal dan apa pula yang baru belajar membaca pada usia tujuh atau delapan tahun. Sudah lama terjadi perdebatan antara peneliti yang menekankan penggunaan pendekatan pengajaran yang menekankan pada pengenalan simbol dengan yang menekankan pada pengenalan kata atau kalimat secara utuh. Chlall seperti dikutip oleh Mercer (1979:202) mengemukakan bahwa hasil penelitiannya yang dilakukan tahun 1967 menunjukkan bahwa pendekatan yang menekankan pada pengenalan simbol bahasa atau huruf kecil yang lebih unggul dari pada yang menekankan pada pengenalan kata atau kalimat. Pada tahun 1978, Kirk, Kliebhan, dan Lerner menyajikan suatu model pendekatan tiga tahap belajar membaca yang terdiri dari (1) membaca keseluruha, (2) membaca rinci, (3) membaca tanpa kesadaran kerincian (Mercer, 1979:202). Model pendekatan tersebut mirip dengan metode pembelajaran yang banyak digunakan di Indonesia yang dikenal dengan metode SAS (Sruktural-Analitik-Sintetik). Melalui metode SAS, anak lebih dulu diperkenalkan pada suatu unit bahasa terkecil, yaitu kalimat.
Tahap perkembangan kesiapan membaca mencakup tentang waktu dari sejak dilahirkan hingga pelajaran membaca diberikan, umumnya saat masuk kelas satu SD. Kesiapan menunjuk pada taraf perkembangan yang diperlukan untuk belajar secara efisien. Menurut Kirk, Kilebhan, dan Lerner seperti dikutip oleh Mercer (1979:202) ada delapan faktor yang memberikan sumbangan bagi keberhasilan belajar membaca, yaitu (1) kematangan mental, (2) kemampuan visual, (3) kemampuan mendengarkan, (4) perkembangan wicara dan bahasa, (5) keterampilan berpikir dan memperhatikan, (6) perkembangan motorik, (7) kematangan sosial dan emosional, dan (8) motivasi dan minat.
Tahap keterampilan membaca cepat atau membaca lancar umumnya terjadi pada saat anak-anak duduk dikelas dua atau kelas tiga. Untuk menguasai keterampilan membaca cepat menurut Mercer (1979:203) diperlukan pemahaman tentang hubungan simbol-bunyi, dan karena itu metode tiga tahap ciptaan Kirk, Kliebhan, dan Lerner sesuai dengan tahapan keterampilan membaca cepat atau untuk anak-anak yang duduk di kelas dua atau tiga SD. Mengingat metode SAS mirip dengan metode tiga tahap dan banyaknya keluhan tentang adanya anak-anak yang menghafal bacaan, mungkin perlun dibedakan antara pengajaran membaca di kelas satu dengan di kelas dua dan tiga SD. Bagi anak-anak kelas satu mungkin lebih tepat digunakan metode yang menekankan pada pengenalan huruf sedangkan bagi anak-anak yang duduk dikelas dua atau tiga digunakan metode tiga tahap atau metode SAS. Tentu saja hal ini baru berupa hipotesis yang kebenarannya perlu diuji penelitian ilmiah.
Tahap membaca luas umumnya terjadi pada saat anak-anak telah duduk di kelas empat atau lima SD. Pada tahap ini anak-anak gemar dan menikmati sekali membaca. Mereka umumnya membaca buku-buku cerita atau majalah dengan penuh minat sehinga pelajaran membaca disarankan mudah. Anak-anak berkesulitan belajar membaca jarang yang mampu mencapai tahapan ini meskipun usia mereka sudah lebih tinggi dari pada teman-teman lainnya.
Tahap membaca yang sesungguhnya (refinement of reading stage) umumnya terjadi ketika anak-anak sudah duduk di SLTP dan berlanjut hingga dewasa. Pada tahap ini anak-anak tidak lagi belajar membaca tapi membaca untuk belajar. Mereka belajar untuk memahami, meberikan kritik, atau untuk mempelajari bidang studi tertentu. Kemahiran membaca pada orang dewasa pada hakikatnya tergantung pada latihan membaca yang dilakukan pada tahapan-tahapan sebelumnya.
Dari uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa hakikat membaca adalah memahami isi bacaan. Meskipun demikian, untuk sampai pada kemampuan memahami isi bacaan, ada tahapan-tahapan kemampuan membaca yang perlu dilalui. Dengan memahami adanya tahapan-tahapan kemampuan membaca tersebut maka guru diharapkan dapat menyesuaikan –tujuan pembelajaran dengan tahapan kemampuan belajar membaca tersebut.
B. Hakikat Kesulitan Belajar Membaca
1. Definisi
Kesulitan belajar membaca sering disebut jugaa disleksia (dyslexia). Perkataan disleksia dari bahasa Yunani yang artinya “kesulitan membaca”. Istilah disleksia banyak digunakan dalam dunia kedokteran dan dikaitkan dengan adanya gangguan fungsi neurofisiologis. Bryan dan Bryan seperti dikuti oleh Mercer (1979:200) mendefinisikan :
disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat,dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. Menurut Lerner seperti dikutip oleh Mercer (1979:200) definisi kesulitan belajar membaca atau disleksia sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan pada fungsi otak.


2. Karakteristik
Anak kesulitan belajar membaca sering memperlihatkan kebiasaan membaca yang tidak wajar. Mereka sering memperlihatkan adanya gerakan-gerakan yang penuh ketegangan, seperti mengernyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga sering memperlihatkan adanya perasaan tidak aman yang ditandai dengan perilaku menolak untuk membaca, menangis, atau mencoba melawan guru. Anak berkesulitan belajar membaca juga sering memegang buku bacaan yang terlalu menyimpan dari kebiasaan anak normal, yaitu jarak antara mata dan buku bacaan kurang dari 15 inci (kurang lebih 37,5 cm).
Anak berkesulitan belajar membaca sering mengalami kekeliruan dalam mengenal kata. Kekeliruan jenis ini mencakup penghilangan, penyisipan, penggantian, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak.
Myklebust dan Johnson seperti dikutip Hargrove dan Poteet (1984:164) mengemukakan beberapa ciri anak berkesulitan belajar sebagai berikut :
1) Mengalami kekurangan dalam memori visual dan auditoris, kekurangan dalam memori jangka pendek dan jangka panjang;
2) Memiliki masalah dalam mengingat data seperti mengingat hari-hari dalam seminggu;
3) Memiliki masalah dalam mengenal arah kiri dan kanan;
4) Memiliki kekurangan dalam memahami waktu;
5) Jika diminta menggambar orang sering tidak lengkap;
6) Miskin dalam mengeja;
7) Sulit dalam meninterpretasikan globe, peta, atau grafik;
8) Kekurangan dalam koordinasi dan keseimbangan;
9) Kesulitan dalam belajar berhitung; dan
10) Kesulitan dalam belajar bahasa asing.
3. Berbagai kesalahan membaca
Anak mengalami kesulitan belajar membaca karena pada mulanya telah mengalami berbagai kesalahan seperti berikut :
a. Penghilangan huruf atau kata sering dilakukan oleh anak berkesulitan belajar membaca karena adanya kekurangan dalam mengenal huruf, bunyi bahasa (fonik), dan bentuk kalimat. Penghilangan huruf atau kata biasanya terjadi pada pertengahan atau akhir kata atau kalimat. Penyebab lain dari adanya penghilangan tersebut adalah karena anak menganggap huruf atau kata yang dihilangkan tersebut tidak diperlukan. Contoh penghilangan huruf atau kata adalah “baju anak itu merah” dibaca “baju itu merah” atau “adik membeli roti” dibaca “adik beli roti”.
b. Penyelipan kata terjadi karena anak kurang mengenal huruf, membaca terlalu cepat, atau karena bicaranya melampaui kecepatan membacanya. Contoh dari kesalahan ini misalnya pada saat anak seharusnya membaca “baju mama di lemari” dibaca “baju mama ada dilemari”.
c. Penggantian kata merupakan kesalahan yang banyak terjadi. Hal ini mungkin disebabkan karena anak tidak memahami kata tersebut hingga hanya menerka-nerka saja. Contoh penggantian kata yang tidak mengubah makna adalah “tas ayah di dalam mobil” dibaca oleh anak “tes bapak di dalam mobil”.
d. Pengucapan kata yang salah terdiri dari tiga macam (1) pengucapan kata yang salah makna berbeda, (2) pengucapan kata salah makna sama, (3) pengucapan kata salah tidak bermakna. Keadaan semacam ini dapat terjadi karena anak tidak mengenal huruf sehingga menduga-duga saja, karena mungkin membaca terlalu cepat, karena perasaan tertekan atau takut kepada guru, atau karena perbedaan dialek anak dengan bahasa Indonesia yang baku. Contoh pengucapan kata salah makna berbeda adalah “baju bibi baru” dibaca “baju bibi biru”, pengucapan salah makna salah adalah “kakak pergi ke sekolah” dibaca “kakak pigi ke sekolah”, sedangkan contoh pengucapan salah tidak bermakna adalah “bapak beli durian” dibaca “bapak beli duren”.
e. Pengucapan kata dengan bantuan guru terjadi jika ingin membantu anak melafalkan kata-kata. Hal ini terjadi karena sudah beberapa menit ditunggu oleh guru anak belum juga melafalkan kata-kata yang diharapkan. Anak yang memerlukan bantuan semacam itu biasanya karena adanya kekurangan dalam mengenal huruf atau karena takut risiko jika terjadi kesalahan. Anak semacam ini biasanya juga memiliki kepercayaan diri yang kurang, terutama pada saat menghadapi tugas membaca.
f. Pengulangan dapat terjadi pada kata, suku kata, atau kalimat. Contoh pengulangan adalah “bab-ba-ba bapak menulis su-su-surat”. Pengulangan terjadi mungkin karena kurang mengenal huruf sehingga harus memperlambat membaca sambil mengingat-ingat nama huruf yang kurang dikenal tersebut. Kadang-kadang anak sengaja mengulang kalima untuk lebih memahami arti kalimat tersebut.
g. Pembalikan huruf terjadi karena anak bingung posisi kiri-kanan, atau atas-bawah. Pembalikan terjadi terutama pada huruf-huruf yang hampir sama seperti d dengan b, p dengan q atau g, m dengan n atau w.
h. Pembetulan sendiri dilakukan oleh anak jika ia menyadari bahwa adanya kesalahan. Karena kesadaran akan adanya kesalahan, anak lalu mencoba membetulkan sendiri bacaannya.
i. Anak yang ragu-ragu terhadap kemampuannya sering membaca dengan tersendat-sendat. Murid yang ragu-ragu dalam membaca sering dianggap bukan sebagai kesalahan. Meskipun demikian guru umumnya berupaya untuk memperbaiki karena dianggap sebagai kebiasaan yang tidak baik. Keraguan dalam membaca juga sering disebabkan anak kurang mengenal huruf atau karena kekurangan pemahaman.
j. Berbagai kesalahan membaca yang telah dikemukakan dapat digunakan oleh guru sebagai acuan dalam menyusun alat diagnosisi informal. Observasi yang terus menerus guru dapat mengetahui kesalahan-kesalahan anak dalam membaca; dan berdasarkan kesalahan-kesalahan tersebut dapat dicarikan pemecahannya.
C. Assesmen Kesulitan Belajar Membaca
Suatu sekolah sebaiknya memiliki data yang lengkap tentang anak. Data tersebut mencakup riwayat anak sejak dikandung, keadaan keluarga, skor tes intelegensi, kondisi pendengaran dan penglihatan, dan sebagainya. Data tersebut hendaknya tersimpan secara baik tetapi mudah untuk memperolehnya kembali. Data semacam itu belum dapat secara langsung digunakan untuk memberikan intervensi bagi anak kesulitan belajar tetapi dapat memberikan gambaran umum tentang anak.
Jika data umum tentang anak telah tersedia, guru remedial atau diagnostisian dapat menggunakan instrumen assesmen formal maupun informal. Mengingat instrumen assesmen formal untuk kesulitan belajar membaca masih sukar diperoleh maka berikut ini hanya dibicarakn instrumen asesmen informal. Ada tiga jenis instrumen asesmen informal yang dibicarakan, yaitu untuk mengetahui kemampuan membaca lisan, dan membaca pemahaman.
1. Membaca lisan
Menurut Hargrove dan Poteet (1984:170) ada 13 jenis perilaku yang mengindikasikan bahwa anak berkesulitan belajar membaca lisan. Adapun berbagai perilaku tersebut adalah:
(1) Menunjuk tiap kata yang sedang dibaca;
(2) Menelusuri tiap baris yang sedang dibaca dari kiri ke kanan dengan jari;
(3) Menelusuri tiap baris bacaan ke bawah dengan jari;
(4) Menggerakkan kepala, bukan matanya yang bergerak;
(5) Menempatkan buku dengan cara yang aneh;
(6) Menempatkan buku terlalu dekat dengan mata;
(7) Sering melihat pada gambar, jika ada;
(8) Mulutnya komat kamit waktu membaca;
(9) Membaca kata demi kata;
(10) Membaca terlalu cepat;
(11) Membaca tanpa ekspresi;
(12) Melakukan analisis tetapi tidak mensintesiskan; dan
(13) Adanya nada suara yang aneh atau tegang yang menandakan keputusasaan.
2. Membaca pemahaman
Menurut Ekwall seperti dikutip oleh Hargrove dan Poteet (1984:194) ada tujuh kemampuan yang ingin dicapai melalui membaca pemahaman, yaitu :
(1) Mengenal ide pokok suatu bacaan;
(2) Mengenal detail yang penting;
(3) Mengembangkan imajinasi visual;
(4) Meramalkan hasil;
(5) Mengikuti petunjuk;
(6) Mengenal organisasi karangan; dan
(7) Membaca kritis.
Untuk melatih anak membaca pemahaman, guru biasanya menugaskan kepada anak untuk membaca yang dikenal dengan membaca dalam hati. Dengan demikian, tujuan membaca dalam hati pada hakikatnya sama dengan membaca pemahaman. Perbedaannya, anak-anak yang masih duduk di SD, tampaknya masih sulit untuk mencapai tujuan seperti yang dikemukakan oleh Ekwall di atas. Bagi anak-anak yang masih duduk di SD, sudah cukup memadai jika anak memahami isi bacaan yang ditunjukkan oleh kemampuan mereka dalam menjawab berbagai pertanyaan yang sesuai dengan kata dalam bacaan.
Rudell seperti dikutip oleh Hargrove dan Poteet (1984 :195) telah mengembangkan kerangka kerja lain tentang bermacam-macam keterampilan pembaca pemahaman. Kerangka kerja tersebut mengkonsetualisasikan pemahaman sebagai suatu kontinum dari taraf faktual, taraf interpretatif, hingga taraf aplikatif. Untuk sampai pada taraf faktual, anak harus mengindentifikasi dengan mengingat data atau informasi yang ada dalam bacaan. Untuk memilih pemahaman pada taraf interpretatif, anak harus melakukan analisis, rekontruksi, atau pengujian;dan untuk sampai pada taraf aplikatif, anak harus menggunakan atau mengaplikasikan data pada situasi baru.di halaman berikut dikemukakan tabel keterampilan membaca pemahaman yang dikembangkan oleh Rudell seperti dikutip oleh Hargrove dan Poteet (1984 :195).
D. Metode Pengajaran Membaca
Metode pengajaran membaca pada anak ada dua kelompok yaitu metode pengajaran membaca bagi anak pada umumnya dan metode pengajaran membaca khusus bagi anak berkesulitan belajar.
1. Metode pengajaran membaca bagi anak pada umumnya
Ada berbagai metode pengajaran membaca yang bisa digunakan adalah sebagai berikut :
a. Metode membaca dasar
Metode membaca dasar umumnya menggunakan pendekatan eklektik yang menggabungkan berbagai prosedur untuk mengajarkan kesiapan, pembendaharaan kata, mengenal kata, pemahaman, dan kesenangan membaca (Lerner, 1988:371). Metode membaca dasar umumnya dilengkapi dengan suatu rangkaian buku dan sarana penunjang lain, yang disusun dari taraf sederhana ke taraf yang lebih sukar. Sesuai dengan kemampuan atau tingkat kelas anak-anak.
Saat ini metode pengajaran membaca dasar memiliki kecenderungan untuk memperkenalkan bunyi huruf atau membaca lebih awal, yaitu di TK. Isi bacaan umumnya juga disesuaikan dengan kondisi dari suatu etnik atau daerah tempat tinggal anak.

b. Metode Fonik
Metode fonik menekankan pada pengenalan kata melalui proses mendengarkan bunyi huruf. Dengan demikian, metode fonik lebih sintesis daripada analitis. Pada mulanya anak diajak mengenal bunyi-bunyi huruf, kemudian mensintesiskan huruf-huruf tersebut menjadi suku kata dan kata. Untuk memperkenalkan bunyi berbagai huruf biasanya mengaitkan huruf-huruf tersebut dengan huruf depan berbagai nama benda yang sudah dikenal anak seperti huruf a dengan gambar ayam, huruf b dengan gambar buku, dan sebagainya.
c. Metode linguistik
Metode linguistik didasarkan atas pandangan bahwa membaca pada dasarnya adalah suatu proses memecahkan kode atau sandi yang berbentuk tulisan menjadi bunyi yang sesuai dengan percakapan. Pandangan ini berasumsi bahwa pada saat anak masuk kelas satu SD, mereka telah menguasai bahan ujaran. Dengan demikian, membaca adalah memecahkan sandi hubungan bunyi tulisan. Metode ini menyajikan kepada anak suatu bentuk kata-kata yang terdiri dari konsonan- vokal atau konsonan – vokal – konsonan seperti “bapak”, “lampu”, dan sebagainya. Berdasarkan kata-kata tersebut anak diajak memecahkan kode tulisan tersebut menjadi bunyi percakapan. Dengan demikian, metode ini lebih analitik daripada sintetik.
d. Metode SAS (struktural Analisis Sintetik)
Metode ini pada dasarnya merupakan perpaduan antara metode fonik dengan metode linguistik. Meskipun demikian, ada perbedaan antara kode tulisan yang dianalisis dalam metode linguistik dengan metode SAS. Dalam metode linguistik kode tulisan yang dianalisis berbentu kata sedangkan dalam metode SAS yang dianalisis adalah kode tulisan yang berbentuk kalimat pendek yang utuh. Metode SAS didasarkan atas asumsi bahwa pengamatan anak mulai dari keseluruhan (gestalt) dan kemudian ke bagian-bagian. Oleh karena itu, anak diajak memecahkan kode tulisan kalimat pendek yang dianggap sebagai unit bahasa utuh, selanjutnya diajak menganalisis menjadi kata, suku kata, dan huruf, dan akhirnya kembali menjadi kalimat. Metode ini digunakan secara luas di Indonesia. Ada berbagai keluhan dari para guru dan orangtua yang menganggap metode ini menyebabkan anak menghafal bacaan tanpa mengenal huruf. Kesulitan ini diduga disebabkan karena anak kurang mampu melakukan analisis dan sintesis, yang banyak dialami oleh anak berkesulitan belajar.
e. Metode Alfabetik
Metode ini menggunakan dua langkah, yaitu memperkenalkan kepada anak-anak berbagai huruf alpabetik dan kemudian merangkaikan huruf-huruf tersebut menjadi suku kata, kata, dan kalimat. Metode ini bila digunakan dalam bahasa Indonesia tidak terlalu sulit bila dibandingkan dengan kalau digunakan dalam bahasa inggris karena hampir semua hurus mewakili bunyi yang sama. Metode ini sering menimbulkan kesulitan bagi anak berkesulitan belajar. Anak berkesulitan belajar sering menjadi bingung mengapa tulisan “bapak” tidak dibaca “baepeka”.
f. Metode pengalaman bahasa
Metode ini terintegrasi dengan perkembangan anak dalam keterampilan mendengarkan, bercakap-cakap, dan menulis. Bahan bacaan didasarkan atas pengalaman anak. Metode ini didasarkan atas pandangan:
(a) Apa yang dapat saya pikirkan, dapat saya katakan.
(b) Apa yang dapat saya katakan, dapat saya tulis.
(c) Apa yang dapat saya tulis, dapat saya baca.
(d) Saya dapat membaca yang ditulis orang lain untuk saya baca.
Berdasarkan kemampuan pengalaman anak, guru mengembangkan keterampilan anak untuk membaca. Pada mulanya anak diminta untuk menceritakan pengalamannya kepada guru, dan guru menuliskan pengalaman anak tersebut pada papan tulis atau kertas. Sebagai contoh : anak bercerita
Saya pergi ke toko
Saya beli buku
Saya juga beli sepatu
Berdasarkan cerita anak yang ditulis oleh guru, keterampilan membaca anak-anak dikembangkan.


2. Metode pengajaran membaca bagi anak berkesulitan belajar
Ada beberapa metode pengajaran membaca bagi anak berkesulitan membaca adalah sebagai berikut:
a. Metode Fernald
Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multisensoris yang sering dikenal pula sebagai metode VAKT (visual, auditory, kinesthetic, and tactile). Metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata yang diucapkan oleh anak, dan tiap kata diajarkan secara utuh. Metode ini memiliki empat tahapan. Tahapan pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (tactile and kinestetik). Pada saat menelusuri tulisan tersebut anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditory). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan. Pada tahapan kedua, anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis, sambil mengucapkannya. Anak-anak mempelajari kata-kata baru pada tahapan ketiga, dengan melihat tulisan yang ditulis di papan tulis atau tulisan cetak, dan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak mulai membaca tulisan dari buku. Pada tahapan ke empat, anak mampu mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah di pelajari.
b. Metode Gillingham
Metode Gillingham merupakan pendekatan struktural taraf tinggi yang memerlukan lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktivitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk mempelajari berbagai huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program fonik diselesaikan.
c. Metode Analisis Glass
Metode analisis glass merupakan suatu metode pengajaran melalui pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Metode ini bertolak dari asumsi yang mendasari membaca sebagai pemecahan sandi atau kode tulisan. Ada dua asumsi yang mendasari metode ini. Pertama, proses pemecahan sandi (decoding) dan membaca (reading) merupakan kegiatan yang berbeda. Kedua, pemecahan sandi mendahului membaca. Pemecahan sandi didefinisikan sebagai menentukan bunyi yang berhubungan dengan suatu kata tertulis secara tepat. Membaca didefinisikan sebagai menurunkan makna dari kata-kata yang berbentuk tulisan. Jika anak tidak dapat melakukan pemecahan sandi tulisan secara efisien, maka mereka tidak akan belajar membaca.
Melalui metode analisis glass, anak dibimbing untuk mengenal kelompok-kelompok huruf sambil melihat kata secara keseluruhan. Metode ini menekankan pada latihan auditoris dan visual yang terpusat pada kata yang sedang dipelajari. Materi yang diperlukan untuk mengajar mengenal kelompok-kelompok huruf dapat dibuat oleh guru. Secara esensial, kelompok huruf dapat dibuat pada kartu berukuran 3 X 15 cm. pada tiap kartu tersebut, guru menuliskan secara baik kata-kata terpilih yang telah menjadi pembendaharaan kata anak. Kelompok kata didefinisikan sebaga dua atau lebih huruf yang merupakan satu kata utuh, menggambarkan suatu bunyi yang relatif tetap. Dalam bahasa Indonesia kelompok huruf yang merupakan satu kata yang hanya terdiri dari suku kata sangat jarang. Kata “tak” misalnya, sesungguhnya merupakan kependekan dari kata “tidak”; dan kata “pak” atau “bu” sesungguhnya kependekan dari kata “bapak” dan “ibu”. Dengan demikian, peranan metode analisis glass dapat bahasa Indonesia akan berbentuk suku kata, misalnya kata “bapak” terdiri dari dua kelompok huruf “ba” dan “pak”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Membaca merupakan keterampilan yang harus diajarkan sejak anak masuk SD. Dan kesulitan belajar membaca harus secepatnya diatasi. Definisi kesulitan belajar membaca atau disleksia sangat bervariasi tetapi semua menunjuk kemungkinan adanya gangguan pada fungsi otak. Karakteristik kesulitan belajar membaca berkenaan dengan kebiasaan membaca, kekeliruan mengenal kata, kekeliruan pemahaman dan adanya gejala-gejala serbaneka.
Asesmen kesulitan belajar membaca dapat dilakukan melalui instrumen informal sebagai landasan dalam memberikan pengajaran remedial yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya berbagai kesalahan dalam membaca lisan dan membaca pemahaman. Metode pengajaran membaca bagi anak pada umumnya menggunakan metode membaca dasar, fonik, linguistik, SAS, alpabetik dan pengalaman bahasa Metode pengajaran.
B. Saran
Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat pengetahuan dan keterampilan besar pula diperoleh melalui membaca. Oleh karena itu, disarankan membaca harus diajarkan sejak anak masuk SD dan kesulitan belajar membaca harus secepatnya diatasi dengan memahami hakikat membaca, hakikat kesulitan membaca, asesmen membaca, dan bagaimana metode pengajaran membaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Halik, Abd. dan Rahman 2005. Dasar-Dasar Penyusunan Karya Tulis Ilmiah. Untuk Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Makassar.
Maryam, ST. 2008. Bimbingan Belajar. PGSD S1 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar.
Mulyasa. 2008. Menjadi Guru Profesional. Bandung : Rosda.
Tohrin. 2007. Bimbingan dan Konseling di sekolah dan Madrasah. Jakarta :Raja Grafindo Persada.

1 comment:

Blogroll

×

About