BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam pengembangan kurikulum dapat
diidentifikasi berdasarkan basis apa yang akan dicapai dalam kurikulum
tersebut, seperti alternative yang menekankan pada kebutuhan mata pelajaran,
peserta didik, penguasaan kompetensi suatu pekerjaan, kebutuhan masyarakat,
atau permasalahan sosial. Oleh karena itu pengembangan kurikulum perlu
dilakukan berlandaskan teori yang tepat agar kurukulum yang
dihasilkan bisa efektive.
Berbagai macam model kurikulum telah
dikembangkan oleh para ahli kurikulum, pendidikan dan psikologi. Sudut pandang
ahli yang satu terkadang berbeda dengan sudut pandang ahli yang lain. Ada yang
memandang dari sudut isinya dan ada juga yang memandang dari sisi pengelolaanya
(sentralisitik/desentralistik). Tidak sedikit pula ahli yang mengembangkan
model kurikulum dari sisi proses penggunaan kurikulum tersebut Namun demikian,
jika anda teliti lebih lanjut, para ahli tersebut mempunyai satu tujuan yaitu
mengoptimalkan kurikulum.
Dengan memahami esensi model
pengembangan kurikulum dan sejumlah alternatif model pengembangan kurikulum,
para pengembang kurikulum diharapkan akan bisa bekerja secara lebih sistematis,
sistemik dan optimal. Sehingga harapan ideal terwujudnya suatu kurikulum
yang akomodatif dengan berbagai kepentingan, teori dan praktik bisa diwujudkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini akan diuraikan berbagai model
pengembangan kurikulum.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang model-model pengembangan kurikulum, dapat diambil rumusan masalah
sebaagai berikut:
1.
Apa
pengertian model pengembangan kurikulum?
2.
Apa
saja model-model pengembangan kurikulum?
C. Tujuan
Dari rumusan
masalah model-model pengembangan kurikulum, tujuan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui
apa yang dimaksud model pengembangan kurikulum.
2.
Mengetahui
model-model pengembangan kurikulum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Model-model Pengembangan Kurikulum
Menurut Good (1972)
dan Travers (1973), model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi
peristiwa kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis, grafis, serta
lambang-lambang lainnya. Model bukanlah realitas, akan tetapi merupakan
representasi realitas yang dikembangkan dari keadaan. Dengan demikian, model
pada dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat digunakan untuk
menerjemahkan sesuatu sarana untuk mempermudah berkomunikasi, atau sebagai
petunjuk yang bersifat perspektif untuk mengambil keputusan, atau sebagai
petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan.
Model atau konstruksi
merupakan ulasan teoritis tentang suatu konsepsi dasar (Zainal Abidin (2012:
137). Dalam pengembangan kurikulum, model dapat merupakan ulasan teoritis
tentang suatu proses kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula merupakan
ulasan tentang salah satu bagian kurikulum. Sedangkan menurut (Kamus Besar
Bahasa Indonesia) model adalah pola, contoh, acuan, ragam dari sesuatu
yang akan dihasilkan. Dikaitkan dengan model pengembangan kurikulum berarti
merupakan suatu pola, contoh dari suatu bentuk kurikulum yang akan menjadi
acuan pelaksanaan pendidikan/pembelajaran.
Model pengembangan
kurikulum adalah model yang digunakan untuk mengembangkan suatu kurikulum,
dimana pengembangan kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau menyempurnakan
kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah atau sekolah.
Nadler (1988)
menjelaskan bahwa model yang baik adalah model yang dapat menolong si pengguna
untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan menyeluruh.
Selanjutnya ia menjelaskan manfaat model adalah model
dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia, model dapat
mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian, model
dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks, dan model dapat
digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan.
Model pengembangan
kurikulum adalah model yang digunakan untuk mengembangkan suatu kurikulum,
dimana pengembangan kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau menyempurnakan
kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah.
B.
Model-model Pengembangan
Kurikulum
Terdapat banyak model
pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli. Sukmadinata (2005:161)
menyebutkan delapan model pengembangan kurikulum yaitu: the administrative (
line staff ), the grass roots, Bechamp’s system, The demonstration,
Taba’s inverted model, Rogers interpersonal relations,Systematic action.
Untuk lebih jelasnya Marilah
kita ikuti uraian berikut untuk memahami model pengembangan kurikulum.
1.
The
Administrative Model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan
model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif
atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para
administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang
administrasinya, administrator pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala
kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan) membentuk suatu komisi atau tim
pengarah pengembangan kurikulum. Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri
atas, pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin
ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim atau komisi ini
adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan, dan
strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Setelah hal-hal yang mendasar ini
terumuskan dan mendapatkan pengkajian yang saksama, administrator pendidikan
menyusun tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau
komisi ini terdiri atas para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari
perguruan tinggi, guru-guru bidang studi yang senior. Tim kerja pengembangan
kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional,
dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah digariskan
oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih
operasional dari tujuan-tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun sekuens
bahan pelajaran, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru-guru.
Setelah semua tugas dari tim kerja
pengembang kurikulum tersebut selesai, hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah
serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten. Setelah
mendapatkan beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik, administrator
pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut serta memerintahkan
sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut. Karena sifatnya yang
datang dari atas, model pengembangan kurikulum demikian disebut juga model “top
down” atau “line staff”. Pengembangan kurikulum dari atas, tidak selalu segera
berjalan, sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaannya, terutama guru-guru.
Mereka perlu mendapatkan petunjuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga
peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Kebutuhan akan adanya penataran sering tidak dapat
dihindarkan (Nana Saudih: 2000).
Dalam
pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan diperlukan pula
adanya kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam
pelaksanaannya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga dilakukan suatu
evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponennya, prosedur
pelaksanaan maupun keberhasilannya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh
tim khusus dari tingkat pusat atau daerah, sedang penilaian persekolah dapat
dilakukan oleh tim khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut
merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah,
maupun sekolah.
2.
The
Grass roots Model
Model pengembangan ini merupakan lawan
dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang
dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan
kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum
yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam
sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang
bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di
suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau
penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau
beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen
kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan
guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan
kurikulum model grass roots, akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas
pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari
pembelajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh
karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal
itu sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh
Smith, Stanley dan Shores (1957):
1)
The curriculum will improve only as the
professional competence of teachers improves.
2)
The competence of teachers will be
improved only as the teachers become involved personally in the problems of
curriculum revision.
3)
If teachers share in shaping the goals to
be attained, in selecting, defining, and solving the problems to be
encountered, and in judging and evaluating the rusults, their involvement will
be most nearly assured.
4)
As people meet in face to face groups,
they will be able to understand one another better and to reach a consensus on
basic principles, goals, and plans (Smith, Stanley, and Shores 1957 : 429).
Pengembangan
kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi
tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk
bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada
sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi
dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam
meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan
manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3.
Beauchamp’s
System
Model pengembangan kurikulum ini,
dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima
hal di dalam pengembangan suatu kurikulum.
Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum
tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi ataupun seluruh
negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh
pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan
pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi wewenang kepala kanwil
pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah propinsi, tetapi arena
pengembangan kurikulum hanya mencakup satu daerah kabupaten saja sebagai pilot
proyek.
Kedua, menetapkan
personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan
kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam
pengembangan kurikulum, yaitu : (1) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada
pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, (2) para
ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, (3)
para profesional dalam sistem pendidikan, (4) profesional lain dan tokoh-tokoh
masyarakat.
Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan
tokoh-tokoh pendidikan seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang
langsung terhadap pengembangan kurikulum, dibanding dengan tokoh-tokoh lain
seperti, para penulis dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus,
dan pengusaha serta industriawan. Penetapan personalia ini sudah tentu
disesuaikan dengan tingkat dan luas wilayah arena. Untuk tingkat propinsi atau
nasional tidak terlalu banyak melibatkan guru. Sebaliknya untuk tingkat
kabupaten, kecamatan atau sekolah keterlibatan guru-guru semakin besar.
Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok personalia ini, Beauchamp mengemukakan
tiga pertanyaan : (1) haruskah kelompok ahli/pejabat/profesi tersebut
dilibatkan dalam pengembangan kurikulum?, (2) Bila ya, apakah peranan mereka?,
(3) Apakah mungkin ditemukan alat dan cara yang paling efektif untuk
melaksanakan peran tersebut?.
Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini
berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan
tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan
evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum. Beauchamp membagi
keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu : (1) Membentuk tim
pengembang kurikulum, (2) mengadakan penilaian atau penelitian terhadap
kurikulum yang ada yang sedang digunakan, (3) Studi penjajagan tentang
kemungkinan penyusunan kurikulum baru, (4) merumuskan kriteria-kriteria bagi
penentuan kurikulum baru, (5) penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah
mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang
sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-guru,
siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapan manajerial dari
pimpinan sekolah atau administrator setempat.
Langkah
yang kelima dan merupakan terakhir adalah evaluasi
kurikulum. Langkah ini minimal mencakup empat hal, yaitu : (1) evaluasi
tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, (2) evaluasi desain kurikulum,
(3) evaluasi hasil belajar siswa, (4) evaluasi dari keseluruhan sistem
kurikulum. Data yang diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi ini digunakan bagi
penyempurnaan sistem dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip
melaksanakannya.
4.
The
Demonstration Model
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat
grass roots, datang dari bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau
sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan
kurikulum. Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa
sekolah, suatu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum.
Karena sifatnya ingin mengubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan
kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores ada dua
variasi model demonstrasi ini. Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau
beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan tentang
pengembangan kurikulum. Proyek ini bertujuan mengadakan penelitian dan
pengembangan tentang salah satu atau beberapa segi/komponen kurikulum. Hasil
penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat digunakan bagi lingkungan yang
lebih luas. Kegiatan penelitian dan pengembangan ini biasanya diprakarsai dan
diorganisasi oleh instansi pendidikan yang berwewenang seperti, direktorat
pendidikan, pusat pengembangan kurikulum, kantor wilayah pendidikan dan
kebudayaan, dan sebagainya.
Bentuk yang kedua, kurang bersifat formal.
Beberapa orang guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada, mencoba
mengadakan penelitian dan pengembangan sendiri. Mereka mencoba menggunakan
hal-hal lain yang berbeda dengan yang berlaku. Dengan kegiatan ini mereka
mengharapkan ditemukan kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih
baik, untuk kemudian digunakan di daerah yang lebih luas.
Ada beberapa kebaikan dari pengembangan
kurikulum dengan model demonstrasi ini. Pertama, karena kurikulum disusun dan
dilaksanakan dalam situasi tertentu yang nyata, maka akan dihasilkan suatu
kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih praktis. Kedua,
perubahan atau penyempurnaan kurikulum dalam skala kecil atau aspek tertentu
yang khusus, sedikit sekali untuk ditolak oleh administrator, dibandingkan
dengan perubahan dan penyempurnaan yang menyeluruh. Ketiga, pengembangan
kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi dapat menembus hambatan
yang sering dialami yaitu dokumentasinya bagus tetapi pelaksanaannya tidak ada.
Keempat, model ini sifatnya yang grass roots menempatkan guru sebagai pengambil
inisiatif dan nara sumber yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator
untuk mengembangkan program baru. Kelemahan model ini, adalah bagi guru-guru
yang tidak turut berpartisipasi mereka akan menerimanya dengan enggan-enggan,
dalam keadaan terburuk mungkin akan terjadi apatisme.
5.
Taba’s
Inverted Model
Menurut cara yang bersifat tradisional
pengembangan kurikulum dilakukan secara deduktif, dengan urutan :
1)
Penentuan prinsip-prinsip dan
kebijaksanaan dasar,
2)
Merumuskan desain kurikulum yang bersifat
menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen tertentu,
3)
Menyusun unit-unit kurikulum sejalan
dengan desain yang menyeluruh,
4)
Melaksanakan kurikulum di dalam kelas.
Taba berpendapat model deduktif ini kurang
cocok, sebab tidak merangsang timbulnya inovasi-inovasi. Menurutnya
pengembangan kurikulum yang lebih mendorong inovasi dan kreatifitas guru-guru
adalah yang bersifat induktif, yang merupakan inversi atau arah terbalik dari
model tradisional.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum
model Taba ini. Pertama, mengadakan
unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini
diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori dengan praktik.
Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan pelaksanaan eksperimen di
dalam kelas menghasilkan data-data yang untuk menguji landasan teori yang
digunakan. Ada delapan langkah dalam kegiatan unit eksperimen ini :
1)
Mendiagnosis kebutuhan,
2)
Merumuskan tujuan-tujuan khusus,
3)
Memilih isi,
4)
Mengorganisasi isi,
5)
Memilih pengalaman belajar,
6)
Mengorganisasi pengalaman belajar,
7)
Mengevaluasi,
8)
Melihat sekuens dan keseimbangan (Taba,
1962 : 347 – 379).
Langkah kedua, menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji
dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di kelas-kelas
atau tempat lain untuk mengetahui validitas dan kepraktisannya, serta
menghimpun data bagi penyempurnaan.
Langkah ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh
beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan
penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan juga kegiatan
konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal yang lebih bersifat
umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. Hal itu dilakukan, sebab
meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan praktis pada sesuatu
sekolah belum tentu demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji
keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi.
Langkah keempat, pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan
penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh
atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum
dan para profesional kurikulum lainnya. Kegiatan itu dilakukan untuk mengetahui
apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai sudah
masuk dan sesuai.
Langkah kelima, implementasi dan diseminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru ini
pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah ini masalah
dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan tetapi dihadapi, baik berkenaan dengan
kesiapan guru-guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.
6.
Roger’s
Interpersonal Relations Model
Meskipun Rogers bukan seorang ahli
pendidikan (ia ahli psikologi atau psikoterapi) tetapi konsep-konsepnya tentang
psikoterapi khususnya bagaimana membimbing individu juga dapat diterapkan dalam
bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum. Memang ia banyak mengemukakan
konsepnya tentang perkembangan dan perubahan individu. Menurut When Crosby (1970
: 388) perubahan kurikulum adalah perubahan individu.
Menurut Rogers manusia berada dalam proses
perubahan (becoming, developing, changing),
sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi
karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu
memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain
merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut.
Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu
perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum
model Rogers. Pertama, pemilihan target
dari sistem pendidikan. Di dalam penentuan target ini satu-satunya kriteria
yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk
turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu minggu para
pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang
relaks, tidak formal. Melalui kegiatan kelompok ini mereka akan mengalami perubahan-perubahan
sebagai berikut:
1)
He
is less protective of his own beliefs and can listen more accurately
2)
He
finds it easier and less threatening to accept innovative ideas.
3)
He
has less need to protect bureaucratic rules.
4)
He
communicates more clearly and realistically to superiors, peers, and
sub-ordinates because he is more open and less self-protective.
5)
He
is more person oriented and democratic.
6)
He
openly confronts personal emotional frictions between him self and colleagues.
7)
He
is more able to accept both positive and negative feedback and use it
constructively (Rogers, 1967 : 722).
Langkah
kedua dalam pengembangan kurikulum model Rogers adalah partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Sama
seperti yang dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam
kegiatan kelompok. Keikut sertaan guru dalam kelompok tersebut sebaiknya
bersifat sukarela, lama kegiatan kalau bisa satu minggu lebih baik, tetapi
dapat juga kurang dari satu minggu. Efek yang akan diterima guru-guru sejalan
dengan para administrator, dengan beberapa tambahan.
1)
He
is more able to listen to students,
2)
He
accepts innovative, torublesome ideas from students, rather than insisting on
conformity,
3)
He
pays as much attention to his relationships with student as he does to course
content,
4)
He
works out problems with students rather than responding in a disciplinary and
punitive manner,
5)
He
develops an equalitarian and democratic classroom climate
(Rogers, 1967 : 724).
Langkah ketiga, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau
unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kegiatan
kelompok, dengan fasilitator para guru atau fasilitator dari luar. Dari
kegiatan ini para siswa akan mendapatkan :
1)
He
feels freer to express both positive and negative feelings in class.
2)
He
works through these feelings toward a realistic solutin.
3)
He
has more energy for learning because he has less fear of constant evaluation
and punishment.
4)
He
discovers that he is responsible for his own learning.
5)
He
awe and fear of outhority diminish as he finds teachers and administrators to
be fallible human beings.
6)
He
finds that the learning process enables him to deal with his life
(Rogers,1967:725).
Langkah keempat, partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat
dikoordinasi oleh BP3 masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok dapat tiga
jam tiap sore hari selama seminggu atau 24 jam secara terus menerus. Kegiatan
ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua,
dengan anak, dan dengan guru. Rogers juga menyarankan, kalau mungkin ada
pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran. Kegiatan merupakan
kulminasi dari semua kegiatan diatas.
Model pengembangan kurikulum dari Rogers
ini berbeda dengan model-model lainnya. Seperti tidak ada suatu perencanaan
kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri
kas Carl Rogers sebagai seorang Eksistensialis Humanis, ia tidak mementingkan
farmalitas, rancangan tertulis, data dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting
adalah aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam
interaksi ini individu akan berubah. Metode pendidikan yang diutamakan Rogers
adalah sensitivity training, encounter
group and Training Group (T Group).
7.
The
Systematic Action-Research Model
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi
bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu
proses yang melibatkan kepribadian orang tua, siswa guru, struktur sistem
sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai
dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal itu: hubungan insani,
sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan profesional.
Kurikulum dikembangkan dalam konteks
harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh masyarakat, pengusaha, siswa,
guru, dan lain-lain, mempunyai pandangan tentang bagaimana pendidikan,
bagaimana anak belajar, dan bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan
pembelajaran. Penyusunan kurikulum harus memasukkan pandangan dan
harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah
dengan prosedur action research.
Langkah pertama, mengadakan kajian secara
saksama ten tang masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang
bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan dan kondisi
yang mempengaruhi masalah tersebut. Dari hasil kajian tersebut dapat disusun
rencana yang menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah tersebut, serta
tindakan pertama yang harus diambil.
Kedua, implementasi dari keputusan yang
diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikuti oleh kegiatan
pengumpulan data dan fakta-fakta. Kegiatan pengumpulan data ini mempunyai
beberapa fungsi: (1) menyiapkan data bagi evaluasi tindakan, (2) sebagai bahan
pemahaman tentang masalah yang dihadapi, (3) sebagai bahan untuk menilai
kembali dan mengadakan modifikasi, (4) sebagai bahan untuk menentukan tindakan
lebih lanjut.
8. Emerging
Technical Model
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi efektivitas dalam bisnis, juga
mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum. Tumbuh kecenderungan-kecenderungan
baru yang didasarkan atas hal itu, di antaranya: (1) The Behavioral Analysis
Model, (2) The system analysis model, (3) The computer based
model.
The Behavioral Analysis Model, menekankan
penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu perilaku/kemampuan yang kompleks
diuraikan menjadi perilaku-perilaku yang sederhana yang tersusun secara
hierarkis. Siswa mempelajari perilaku-perilaku tersebut secara berangsur-angsur
mulai dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks.
The System Analysis Model berasal
dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah pertama dari model ini adalah menentukan
spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua
adalah menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil-hasil belajar
tersebut. Langkah ketiga, mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta
perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah keempat, membandingkan biaya dan
keuntungan dari beberapa program pendidikan.
The
Computer-Based Model, suatu model pengembangan kurikulum
dengan memanfaatkan komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi
seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang
hasil-hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan guru-guru diminta untuk
melengkapi pertanyaan tentang unit-unit kurikulum tersebut. Setelah diadakan
pengolahan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai
siswa disimpan dalam komputer.
9.
Model Rogers
Roger, seorang ahli
psikologi, memberikan warna yang cukup kuat dalam pengembangan model kurikulum.
Ada empat model yang dikembangkan oleh Roger. Model yang satu merupakan
perbaikan dari model sebelumnya.
1)
Model I
Model pertama
merupakan model yang paling sederhana. Kesederhanaan model ini dapat dilihat
dari kegiatan yang ditawarkan, yaitu pembelajaran (pemberian informasi) dan
ujian. Model ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa pendidikan merupakan
kegiatan penyampaian informasi yang diakhiri dengan kegiatan evaluasi. Oleh
sebab itu, banyak pengembang menyebut model ini sebagai model tradisional.
Namun demikian, pada awal pengembanganya, model yang sederhana ini banyak
sekali digunakan.
Jika Anda menggunakan
model ini, maka sesuai dengan sifatnya, Anda harus biasa menjawab dua pertanyaan
mendasar berikut:
a. Mengapa Anda mengajar mata pelajaran ini?
b. Bagaimana Anda bisa mengukur keberhasilan pengajaran
yang anda ajarkan?
Dari pertanyaan di
atas terlihat bahwa kegiatan pendidikan semata-mata terdiri dari kegiatan
memberikan informasi (isi pelajaran) dan ujian. Asumsi yang dipakaid alam
model ini adalah pendidikan adalah evaluasi, dan evaluasi adalah
pendidikan.Model ni menganggap siswa sebagai obyek yang pasif, sedangkan guru
merupakansubyek yang aktif, yang mempunyai peran lebih dominan. Metode
pembelajaranbelum terlalu dipentingkan. Kesistematisan organisasi materi juga
belum menjadiperhatian. Secara skematis, model ini dapat digambarkan sebagai
berikut.
Sejumlah kelemahan
yang terdapat dalam model ini mendorong Roger untuk mendesain model 2.
2)
Model II
Model pengembangan
kurikulum ini beranjak dari dua pertanyaansebelumnya dan dua pertanyaaan
tambahan berikut.
a. Metode apa
yang Anda gunakan dalam mengajarkan mata pelajaran?
b. Bagaimana Anda
mengorganisasikan bahan pelajaran?
Dengan menambahkan
komponen metode mengajar dan organisasi bahanmaka terlihat bahwa model
pengembangan kurikulum II semakin baik dan lengkap.Metode yang efektif dan
penataan bahan pelajaran sistematis (dari mudah ke yanglebih sukar, dari
konkret ke abstrak, dst.) telah dilakukan.
3)
Model
III
Tidak puas dengan
model kedua ini, Roger pun memunculkan model III dengan menambahkan dua hal
yaitu tentang dukungan bahan ajar yang meliputibuku-buku dan media pengajaran.
Dengan demikian pengaplikasian model ketiga inidapat dilakukan jika Anda
sebagai guru mampu mengimplementasikan duapertanyaan tambahan berikut di
sekolah.
a. Buku pelajaran apa yang Anda gunakan
dalam suatu pelajaran?
b. Media pengajaran apa yang Anda gunakan
dalam mendukung kegiatanpembelajaran?
4) Model IV
Di samping pelbagai
komponen kurikulum pada model I hingga model III,pada model IV ini disertakan
pula komponen penting dalam keseluruhan pendidikan,yaitu tujuan. Tujuan ini
menjadi arah pendidikan dan pengajaran ini yang mengikatsemua komponen yang
telah disebutkan sebelumnya, termasuk teknologi yang akandigunakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan model-model
pengembangan kurikulum memegang peranan penting dalam kegiatan pengembangan
kurikulum dan dengan mempelajari model-model pengembangan kurikulum dapat
memudahkan dalam melakukan pengembangan kurikulum.
Pada saat ini banyak
para ahli yang mengemukakan tentang model-model pengembangan kurikulum, tetapi
setiap model pengembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda,
juga memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan masing-masing model
arahan pengembangannya berbeda-beda ada yang menitikberatkan pada pengambil
kebijaksanaan, pada perumusan tujuan, perumusan isi pelajaran, pelaksanaan
kurikulum itu sendiri dan evaluasi kurikulum.
Pemilihan suatu
model pengembangan kurikulum sebaiknya perlu disesuaikan dengan sistem
pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut dan mempertimbangkan
model pengembangan kurikulum yang sesuai dengan yang diharapkan.
B. Saran
Makalah
ini hanya menyajikan sedikit mengenai model-model pengembangan kurikulum,
dimana masih banyak model lain yang belum di bahas dalam makalah ini oleh
karenanya kita sebagai pelaku dalam dunia pendidikan perlu belajar lebih banyak
lagi mengenai model-model pengembangan kurikulum.
DAFTAR PUSTAKA
Dakir.
H.
(2004). Perencanaan
dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. (2009). Dasar-Dasar Pengembangan
Kurikulum. Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.
Ladjid
Hafni, H. (2005). Pengembangan Kurikulum. PT. Ciputat Press Group.
Riyanto, Yatim. (
Sanjaya, Wina. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. (1997). Pengembangan Kurikum, Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tim
Pengembang MKDK. (2002). Kurikulum dan Pembelajaran: Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, Bandung, UPI
Press.
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberi
petunjuk dan kelancaran kepada penulis dalam menyelesaikan salah satu tugas
mata kuliah Kajian dan
Pengembangan Kurikulum SD, dengan judul Makalah ”Model-Model Pengembangan Kurikulum”.
Penulis
ucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen mata kuliah Kajian dan Pengembangan Kurikulum SD,
yang terhormat Prof. Dr. Yatim Riyanto, M.Pd yang telah memberikan bimbingan dan ilmunya
kepada penulis. Tidak lupa kepada semua pihak yang terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam proses penyusunan, sehingga terwujudnya makalah
ini, penulis ucapkan terimakasih.
Akhirnya
kepada Allah-lah penulis memohon taufik dan hidayah-Nya semoga makalah yang
penulis buat dapat bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi rekan-rekan.
Mengingat bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna begitupun dengan makalah
ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran penulis harapkan baik dari rekan-rekan maupun dari
dosen demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Surabaya, Februari 2014
Penulis
|
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ............................................................................................... .... i
Daftar
Isi ......................................................................................................... .... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang........................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah ..................................................................................... 1
C.
Tujuan
....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Model-Model Pengembangan Kurikulum.................................... 3
B.
Model-Model Pengembangan Kurikulum ................................................... 4
1.
The
Administrative Model ................................................................ 4
2.
The Grass Roots
Model .................................................................... 5
3.
Beauchamp’s
System ....................................................................... 7
4.
The
Demonstration Model ................................................................ 8
5.
Taba’s Inverted
Model ..................................................................... 10
6.
Roger’s
Interpersonal Relation Model ............................................... 11
7.
The Systematic
Action Research Model ............................................ 14
8.
Emerging
Technical Model ............................................................... 15
9.
Model Rogers .................................................................................. 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
.............................................................................................. 18
B. Saran ........................................................................................................ 18
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 19
|
MAKALAH
MODEL-MODEL
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas
dari Mata Kuliah Kajian dan
Pengembangan Kurikulum SD
Dosen: Prof. Dr. Yatim Riyanto, M.Pd
Disusun Oleh:
1.
ERNAWATI
|
NIM.
137855426
|
2.
SRI WIDADI
|
NIM.
137855427
|
3.
ACEP WAWA NUGRAHA
|
NIM.
137855438
|
Kelas B (P2TK)
UNIVERITAS NEGERI SURABAYA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
|
2014
0 komentar:
Post a Comment