BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu usaha manusia dengan penuh
tanggung jawab untuk membimbing anak didik menuju kedewasaan dan membekali
generasi bangsa (siswa) dengan berbagai kemampuan dan keterampilan hidup,
sehingga diharapkan mampu merubah pola pikir masyarakat agar dapat bertahan
hidup dan dapat bersaing dengan kehidupan yang penuh perkembangan ilmu
pengetahuan. Fungsi dari pendidikan itu
sendiri adalah membimbing anak ke arah tujuan yang kita nilai tinggi.
Arah
dan tujuan yang lebih tinggi dapat dicapai jika setiap elemen pendukung
pendidikan khususnya guru dan orang tua paham akan perkembangan anaknya. Salah satu jenis perkembangan yang harus
dipahami adalah perkembangan kognitif pada anak.
Sekarang
ini, banyak dari guru dan orang tua kurang memperhatikan perkembangan kognitif
anaknya, yang dikarenakan kekurang pahaman pada perkembangan kognitif anak.
Banyak dari mereka menggunakan ilmu kira-kira terhadap perkembangan kognitif
anak.
|
Perlu kita ketahui bersama bahwa perkembangan
kognitif pada dasarnya berhubungan dengan konsep-konsep yang dimiliki dan
tindakan seseorang, oleh karenanya perkembangan kognitif seringkali menjadi
sinonim dengan perkembangan intelektual. Dalam proses pembelajaran sering kali
anak dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang menuntut adanya pemecahan.
Kegiatan itu mungkin dilakukan anak secara fisik, seperti mengamati penampilan
obyek yang berupa wujud atau karakteristik dari obyek tersebut. Tetapi lebih
lanjut anak dituntut untuk menanggapinya secara mental melalui kemampuan
berfikir, khususnya mengenai konsep, kaidah atau prinsip atas obyek masalah dan
pemecahannya. Ini berarti aktivitas dalam belajar tidak hanya menyangkut
masalah fisik semata, tetapi yang lebih penting adalah keterlibatannya secara
mental yaitu aspek kognitif yang berhubungan dengan fungsi intelektual.
Perkembangan
kognitif menjadi sangat penting manakala anak akan dihadapkan kepada
persoalan-persoalan yang menuntut kemampuan berfikir. Masalah ini sering
menjadi pertimbangan mendasar di dalam membelajarkan mereka, khususnya yang
menyangkut isi atau kurikulum yang akan dipelajarinya.
Peserta
didik tidak pernah lepas dari belajar, baik di sekolah maupun dalam lingkungan
keluarga. Kemampuan kognitif sangat diperlukan dalam pendidikan. Perkembangan
kognitif merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam perkembangan
peserta didik. Kita ketahui bahwa peserta didik merupakan objek yang berkaitan
langsung dengan proses pembelajaran, sehingga perkembangan kognitif sangat menentukan
keberhasilan peserta didik dalam sekolah.
Dalam
perkembangan kognitif di sekolah, guru sebagai tenaga pendidik yang bertanggung
jawab dalam perkembangan kognitif peserta didik perlu memiliki pemahaman yang
sangat mendalam tentang perkembangan kognitif pada peserta didiknya. Hal ini
dikarenakan guru merupakan salah satu faktor yang akan membentuk perkembangan
kognitif anak.
Orang
tua juga tidak kalah penting dalam kognitif anak, karena perkembangan dan
pertumbuhan anak dimulai dari lingkungan keluarga. Namun, sebagian pendidik
dan orang tua belum terlalu memahami tentang perkembangan kognitif anak,
karakteristik perkembangan kognitif, dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah perkembangan kognitif anak.
Melalui
makalah ini, akan dijelaskan
pengertian perkembangan kognitif,
manfaat mengetahui perkembangan kognitif bagi orang tua dan manfaat mengetahui
perkembangan kognitif bagi guru.
B.
Rumusan
Masalah
- Apa yang dimaksud dengan perkembangan
kognitif?
- Bagaimana perkembangan
kognitif menurut Piaget?
- Masalah apa yang
berkaitan dengan perkembangan kognitif peserta didik dan bagaimana
solusinya?
- Apa manfaat
mengetahui perkembangan kognitif bagi orang tua?
5. Bagaimana
peran guru dalam memotivasi perkembangan kognitif peserta didik pada proses
pembelajaran?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:
- mendeskripsikan pengertian
perkembangan kognitif.
- mendeskripsikan perkembangan
kognitif menurut piaget.
- mendeskripsikan masalah yang
berkaitan dengan perkembangan kognitif peserta didik dan bagaimana solusinya.
- mendeskripsikan
manfaat mengetahui perkembangan kognitif bagi orang tua.
- mendeskripsikan peran
guru dalam memotivasi perkembangan kognitif peserta didik pada proses
pembelajaran.
D.
Manfaat
Hasil
penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan
secara teoretis maupun praktis.
1. Manfaat
Praktis
a. Berguna
sebagai bahan referensi bagi penelitian di masyarakat mendatang sekalipun dalam
perspektif yang berbeda sekaligus sebagai bahan pembanding bagi penulis
lainnya.
b. Berguna
sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk memperkaya khasanah
pengetahuan tentang perkembangan kognitif.
2. Manfaat
Teoretis
a. Agar
orang tua paham akan pentingnya manfaat mengetahui perkembangan kognitif
anaknya.
b. Agar
guru paham dalam memotivasi perkembangan kognitif peserta didik pada proses
pembelajaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Perkembangan Kognitif
1.
Pengertian
Perkembangan
Setiap
manusia yang terlahir di dunia tentunya akan mengalami perkembangan. Pengetahuan
tentang perkembangan anak dapat memberikan harapan yang realistik terhadap
anak. Pengetahuan tentang perkembangan dapat membantu kita dalam memberikan
respon yang tepat terhadap perilaku tertentu seorang anak. Dalam hal ini,
banyak orang belum paham makna perkembangan yang sebenarnya.
|
Desmita (2009:9) menjelaskan bahwa
perkembangan merupakan serangkaian perubahan yang terus menerus dan bersifat
tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju
tahap kematangan melalui proses belajar. Hamalik (2010:84) menjelaskan bahwa
perkembangan menunjuk pada perubahan yang progresif dalam organism, bukan saja
pada perubahan fisik, melainkan dari segi fungsi, misalnya kekuatan dan
koordinasi. Perkembangan menurut pandangan dari Dariyo (2011:35) adalah akibat
perubahan kematangan dan kesiapan fisik yang memiliki potensi untuk melakukan
suatu aktivitas, sehingga individu telah mempunyai suatu kematangan. Syah (2010:40)
menyatakan bahwa perkembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan kearah
yang lebih maju. Yusuf (2011:15) juga berpendapat perkembangan merupakan
perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat
kedewasaan atau kematangan (maturation)
yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan. Sistematis
berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau
saling mempengaruhi antara bagian-bagian organism (fisik dan psikis) dan
merupakan satu kesatuan yang harmonis. Contoh prinsip ini, seperti kemampuan
berjalan anak seiring dengan matangnya otot-otot kaki, dan keinginan remaja
untuk memperhatikan jenis kelamin lain seiring dengan matangnya organ-organ
seksual. Progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan
mendalam baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis). Sebagai
contoh nyata, seperti terjadinya perubahan proporsi dan ukuran fisik anak (dari
pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar); dan perubahan pengetahuan
dan kemampuan anak dari yang sederhana sampai kepada yang kompleks.
Berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi organism itu
berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan
atau loncat-loncat. Contohnya, untuk dapat berdiri seorang anak harus menguasai
tahapan perkembangan sebelumnya, yaitu kemampuan duduk dan merangkap.
Dari
beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan merupakan serangkaian
perubahan secara terus menerus dalam organisme akibat perubahan kematangan dan
kesiapan fisik yang memiliki potensi untuk melakukan suatu aktivitas melalui proses belajar yang berlangsung
secara sistematis, progresif dan berkesinambungan.
2.
Pengertian
Kognitif
Menurut
Mayers (dalam Desmita,
2009:97), “cognition refers to all the
mental activities associated with thinking, knowing and remembering”.
Pengertian yang hampir senada juga diberikan oleh Kuper & Kuper (dalam Syaodih, 2012) dijelaskan
bahwa kognisi adalah istilah umum yang mencakup segenap mode pemahaman, yakni
persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian dan penalaran. Myers (1996) berpendapat
bahwa “thinking or cognition is the
mental activity associated with processing, understanding, and communicating
information … these mental activities, including the logical and sometimes
illogical ways in which we create concepts, solve problems, make decision, and
from judgments”. Ada yang mengartikan bahwa kognitif adalah tingkah laku yang
mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk
menggunakan pengetahuan. Selain itu kognitif juga dipandang sebagai suatu
konsep yang luas dan inklusif yang mengacu kepada kegiatan mental yang terlibat
di dalam perolehan, pengolahan, organisasi dan penggunaan pengetahuan. Proses
utama yang digolongkan di bawah istilah kognisi mencakup: mendeteksi,
menafsirkan, mengelompokkan dan mengingat informasi; mengevaluasi gagasan,
menyimpulkan prinsip dan kaidah, mengkhayal kemungkinan, menghasilkan strategi
dan berfantasi.
Bila
disimpulkan maka kognitif dapat dipandang sebagai konsep luas dan inklusif, mengacu
pada kegiatan mental yang mencakup segala bentuk mendeteksi, menafsirkan,
mengelompokkan, mengingat informasi, mengevaluasi, menyimpulkan, persepsi,
imajinasi, penangkapan makna, penilaian, penalaran.
Proses
kognitif penting dalam membentuk pengertian karena berhubungan dengan proses
mental dari fungsi intelektual. Hubungan kognisi dengan proses mental disebut
sebagai aspek kognitif.
Faktor
kognitif memiliki pemahaman bahwa ciri khasnya terletak dalam belajar
memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili obyek-obyek
yang dihadapi dan dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan
atau lambang yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental. Dari
pernyataan ini dapat dikatakan bahwa makin banyak pikiran dan gagasan yang
dimiliki seseorang, makin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif orang
tersebut. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa kognitif merupakan proses mental
yang berhubungan dengan kemampuan dalam bentuk pengenalan secara umum yang
bersifat mental dan ditandai dengan representasi suatu obyek ke dalam gambaran
mental seseorang apakah dalam bentuk simbol, tanggapan, ide atau gagasan dan
nilai atau pertimbangan.
Faktor
kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar, karena
sebahagian besar aktivitasnya dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah
mengingat dan berfikir dimana kedua hal ini merupakan aktivitas kognitif yang
perlu dikembangkan.
Hal-hal
yang termasuk dalam aktivitas kognitif adalah mengingat dan berfikir. Mengingat
merupakan aktivitas kognitif dimana orang menyadari bahwa pengetahuan berasal
dari kesan-kesan yang diperoleh dari masa lampau. Bentuk mengingat yang penting
adalah reproduksi pengetahuan, misalnya ketika seorang anak diminta untuk
menjelaskan kembali suatu pengetahuan atau peritiwa yang telah diperolehnya
selama belajar. Sedangkan pada saat berfikir anak dihadapkan pada obyek-obyek
yang diwakili dengan kesadaran. Jadi tidak dengan langsung berhadapan dengan
obyek secara fisik seperti sedang mengamati sesuatu ketika ia melihat, meraba
atau mendengar.
Dalam
berfikir obyek hadir dalam bentuk representasi, bentuk-bentuk representasi yang
paling pokok adalah tanggapan, pengertian, atau konsep dan lambang verbal.
Makin berkembang seseorang, makin kayalah anak akan tanggapan-tanggapan.
Hubungan atas tanggapan-tanggapan mulai dipahami manakala hubungan yang satu
dengan yang lain mulai dipahami secara logis. Perkembangan berikutnya anak akan
mampu menentukan hubungan sebab akibat.
3.
Pengertian
Perkembangan Kognitif
Berdasarkan
pengertian yang telah dibahas sebelumnya, perkembangan merupakan serangkaian
perubahan secara terus menerus dalam organisme akibat perubahan kematangan dan
kesiapan fisik yang memiliki potensi untuk melakukan suatu aktivitas melalui proses belajar yang berlangsung
secara sistematis, progresif dan berkesinambungan. Selain itu, kognitif dapat
dipandang sebagai konsep luas dan inklusif, mengacu pada kegiatan mental yang mencakup
segala bentuk mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan, mengingat informasi,
mengevaluasi, menyimpulkan, persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian,
penalaran.
Desmita
(2009:94) menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan istilah yang
digunakan oleh para psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang
memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah dan
merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan
bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan,
memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya.
Berdasarkan perkembangan di atas dapat disimpulkan
bahwa perkembangan kognitif merupakan serangkaian perubahan secara dalam
organisme akibat perubahan kematangan dan kesiapan fisik yang memiliki potensi
untuk melakukan suatu aktivitas melalui
proses belajar mengacu pada kegiatan mental yang mencakup segala bentuk mendeteksi,
menafsirkan, mengelompokkan, mengingat informasi, mengevaluasi, menyimpulkan,
persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, penalaran dan memikirkan
lingkungannya.
B.
Teori
Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Teori
belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses
belajar itu sendiri. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berfikir yang
sangat kompleks.
Menurut
teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses
interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan
terpisah-pisah tetap mengalir, bersambung-sambung menyeluruh.
Menurut
Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi
dengan sosial dan lingkungan fisiknya. Akibatnya lingkungan sosialnya berada
diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Melalui pertukaran ide-ide dengan
orang lain seorang anak tadinya memiliki pandangan subjektif terhadap sesuatu
yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi objektif. Aktivitas mental
anak terorganisasi dalam situasi struktur kegiatan mental. Menurut Jonassen (dalam Suparno, 1997:56),
skema merupakan abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk memecahkan
masalah. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar agar
dapat membentuk kerangka berpikir yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang
akan membentuk pengetahuan structural seseorang. Pengetahuan structural
tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antar skema-skema
tersebut.
Pentingnya
skema adalah bahwa skema mencerminkan fungsi jangka panjang selain sebagai
tempat penyimpanan informasi. Dasar teori skema adalah bahwa ingatan seseorang
itu dianalisis secara semantic. Schemata disusun dalam bentuk jaringan hubungan
konsep-konsep jaringan yang dikenal sebagai jaringan semantik. Jaringan ini
menguraikan apa yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk
mempelajari konsep-konsep yang baru serta mengembangkan dan mengubah jaringan
semantik yang telah ada.
Menurut
teori ini, kognisi sebagai kapasitas kemampuan berfikir dan segala bentuk
pengenalan, digunakan individu untuk melakukan interaksi dengan lingkungannya.
Dengan berfungsinya kognisi mengakibatkan individu memperoleh pengetahuan dan
menggunakannya. Pada prosesnya kognisi mengalami perkembangan ke arah
kolektivitas kemajuan secara berkesinambungan.
Perkembangan
struktur kognisi berlangsung menurut urutan yang sama bagi semua individu.
Artinya setiap individu akan mengalami dan melewati setiap tahapan itu,
sekalipun kecepatan perkembangan dari tahapan-tahapan tersebut dilewati secara
relatif dan ditentukan oleh banyak faktor seperti : kematangan psikis, struktur
syaraf, dan lamanya pengalaman yang dilewati pada setiap tahapan perkembangan.
Mekanisme utama yang memungkinkan anak maju dari satu tahap pemungsian kognitif
ke tahap berikutnya oleh Piaget disebut asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium.
Asimilasi
merupakan proses dimana stimulus baru dari lingkungan diintegrasikan pada skema
yang telah ada. Dengan kata lain, asimilasi merujuk pada usaha individu untuk
menghadapi lingkungan dengan membuatnya cocok ke dalam struktur organism itu
sendiri yang sudah ada dengan jalan menggabungkannya. Proses ini dapat
diartikan sebagai suatu obyek atau ide baru ditafsirkan sehubungan dengan
gagasan atau tindakan yang telah diperoleh anak.
Asimilasi
tidak menghasilkan perkembangan atau skemata, melainkan hanya menunjang
pertumbuhan skemata. Sebagai suatu ilustrasi, kepada seorang anak diperlihatkan
suatu benda yang berbentuk persegi empat sama sisi. Setelah itu diperlihatkan
persegi panjang. Asimilasi terjadi apabila anak menjawab persegi panjang adalah
persegi empat sama sisi. Jadi persegi panjang diasimilasikan dengan persegi
empat sama sisi. Hal ini karena bentuk itu dikenal anak lebih awal sementara
persegi panjang diperoleh kemudian. Jika menyangkut masalah ukuran dari bentuk
tersebut asimilasi tidak akan terjadi karena tidak cocok dengan gagasan yang
telah ada, tetapi jika persegi empat itu dilihat sebagaimana adanya persegi
empat maka hal ini merupakan proses akomodasi.
Akomodasi
merupakan proses yang terjadi apabila berhadapan dengan stimulus baru, anak
mencoba mengasimilasikan stimulus baru itu tetapi tidak dapat dilakukan karena
tidak ada skema yang cocok. Dalam keadaan seperti ini anak akan menciptakan
skema baru atau mengubah skema yang sudah ada sehingga cocok dengan stimulus tersebut.
Akomodasi dapat dikatakan sebagai proses pembentukan skema baru atau perubahan
skema yang telah ada, seperti contoh di atas dimana persegi empat dilihat
sebagaimana adanya persegi empat.
Akomodasi
menghasilkan perubahan atau perkembangan skemata atau struktur kognitif.
Asimilasi dan akomodasi berlangsung terus sepanjang hidup. Jika seseorang
selalu mengasimilasi stimulus tanpa pernah mengakomodasikan, ada kecenderungan
ia memiliki skema yang sangat besar, sehingga ia tidak mampu mendeteksi perbedaan-perbedaan
diantara stimulus yang mirip. Sebaliknya jika seseorang selalu mengakomodasi
stimulus dan tidak pernah mengasimilasikannya, ada kecenderungan ia tidak
pernah dapat mendeteksi perasaan persamaan dari stimulus untuk membuat
generalisasi. Oleh karenanya harus terjadi keseimbangan antara proses asimilasi
dan akomodasi yang dikaitkan sebagai equlibrium.
Teknik
asimilasi digunakan apabila individu memandang bahwa obyek-obyek atau
masalah-masalah baru dapat disesuaikan dengan kerangka berfikir. Sedangkan
teknik akomodasi digunakan apabila individu memandang bahwa obyek-obyek
kerangka berfikirnya yang ada sehingga harus mengubah strukturnya.
Ekuilibrium
menunjuk pada relasi antara individu dan sekelilingnya, terutama sekali pada
relasi antara struktur kognitif individu dan struktur sekelilingnya. Di sini
ada keadaan seimbang bila individu tidak lagi perlu mengubah hal-hal dalam
kelilingnya untuk mengadakan asimilasi dan juga tidak harus mengubah dirinya
untuk mengadakan akomodasi dengan hal-hal yang baru.
Dari
uraian di atas menunjukkan bahwa perkembangan intelektual atau perkembangan
kognitif dapat dipandang sebagai suatu perubahan dari suatu keadaan seimbang ke
dalam keseimbangan baru. Setiap tahap perkembangan kognitif mempunyai bentuk
keseimbangan tertentu sebagai fungsi dari kemampuan memecahkan masalah pada
tahap itu. Ini berarti penyeimbangan memungkinkan terjadinya transformasi dari
bentuk penalaran sederhana ke bentuk penalaran yang lebih komplek, sampai
mencapai keadaan terakhir yang diwujudkan dengan kematangan berfikir orang
dewasa.
Menurut
Piaget pertumbuhan mental mengandung dua macam proses yaitu perkembangan dan
belajar. Perkembangan adalah perubahan struktur sedangkan belajar adalah
perubahan isi. Proses perkembangan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu heriditas,
pengalaman, transmisi sosial dan ekuilibrasi.
Heriditas
diyakini Piaget tidak hanya menyediakan fasilitas kepada anak yang baru lahir
untuk menyesuaikan diri dengan dunianya, lebih dari itu heriditas akan mengatur
waktu jalannya perkembangan pada tahun-tahun mendatang. Inilah yang dikenal
dengan faktor kematangan internal. Kematangan mempunyai peranan penting dalam
perkembangan intelektual, akan tetapi faktor ini saja tidak mampu menjelaskan
segala sesuatu tentang perkembangan intelektual.
Pengalaman
dengan heriditas fisik merupakan dasar perkembangan struktur kognitif. Dalam
hal ini sering kali disebut sebagai pengalaman fisis dan logika matematis.
Kedua pengalaman ini secara psikologi berbeda. Pengalaman fisis melibatkan
obyek yang kemudian membuat abstraksi dari obyek tersebut. Sedangkan pengalaman
logika matematis merupakan pengalaman dimana diabstraksikan bukan dari obyek
melainkan dari akibat tindakan terhadap obyek (abstraksi reflektif).
Transmisi
sosial digunakan untuk mempresentasikan pengaruh budaya terhadap pola berfikir
anak. Penjelasan dari guru, penjelasan orang tua, informasi dari buku, meniru,
merupakan bentuk-bentuk transmisi sosial. Kebudayaan memberikan alat-alat yang
penting bagi perkembangan kognitif, seperti dalam berhitung atau membaca, dapat
menerima transmisi sosial apabila anak ada dalam keadaan mampu menerima
informasi. Untuk menerima informasi itu terlebih dahulu anak harus memiliki
struktur kognitif yang memungkinkan anak dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan
informasi tersebut.
Ekuilibrasi seperti yang telah dikemukakan di atas
merupakan suatu keadaan dimana pada diri setiap individu akan terdapat proses
ekuilibrasi yang mengintegrasikan ketiga faktor tadi, yaitu heriditas,
pengalaman dan transmisi sosial. Alasan yang memperkuat adanya ekuilibrasi
yaitu dimana anak secara aktif berinteraksi dengan lingkungan. Sebagai akibat
dari interaksi itu anak berhadapan dengan gangguan atau kontradiksi, yaitu
apabila situasi pada pola penalaran yang lama tidak dapat menanggapi stimulus.
Kontradiksi ini menimbulkan keadaan menjadi tidak seimbang. Dalam keadaan ini
individu secara aktif mengubah pola penalarannya agar dapat mengasimilasikan
dan mengakomodasikan stimulus baru yang disebut ekuilibrasi.
1.
Tahapan
Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Para
ahli psikologi perkembangan mengakui bahwa pertumbuhan itu berlangsung secara
terus menerus dengan tidak ada lompatan. Penekanan pendidikan dan pengetahuan
harus diseimbangkan sesuai dengan aspek perkembangan manusia. Untuk membantu
melihat hal tersebut kiranya perlu dilihat perkembangan kognitif pada setiap
anak. Piaget (dalam Suparno dkk, 2002:55) membagi perkembangan kognitif seseorang
dalam empat tahap: sensorimotor, pra-operasional, operasional konkret, dan
operasional formal.
Tahap Sensorimotor
|
Usia
0-2 tahun
Bayi bergerak dari tindakan reflex instinktif pada
saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu
pemahaman tentang dunia melalui pengoordinasian pengalaman-pengalaman sensor
dengan tindakan fisik.
|
Tahap Pra-operasional
|
Usia
2-7 tahun
Anak mulai merepresentasikan
dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Kata-kata dan gambar ini
menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan
informasi indrawi dan tindakan fisik.
|
Tahap Operasional
Konkret
|
Usia
7-11 tahun
Pada saat ini akan dapat berpikir secara logis
mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda
ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
|
Tahap Operasional
Formal
|
Usia
11 tahun – Dewasa
Remaja
berpikir dengan cara yang lebih abstrak, logis dan idealistik.
|
Gambar 2.1 Tahap
Perkembangan Kognitif Piaget (dalam desmita, 2009:101)
Tahap
sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Tahap
ini, mulai pada masa bayi ketika ia menggunakan pengindraan dan aktivitas
motorik dalam mengenal lingkungannya. Pada masa ini biasanya bayi keberadaannya
masih terikat kepada orang lain bahkan tidak berdaya, akan tetapi alat-alat
inderanya sudah dapat berfungsi. Tindakannya berawal dari respon refleks,
kemudian berkembang membentuk representasi mental. Anak dapat menirukan
tindakan masa lalu orang lain, dan merancang kesadaran baru untuk memecahkan
masalah dengan menggabungkan secara mental skema dan pengetahuan yang diperoleh
sebelumnya. Dalam periode singkat antara 18 bulan atau 2 tahun, anak telah
mengubah dirinya dari suatu organisme yang bergantung hampir sepenuhnya kepada
refleks dan perlengkapan heriditer lainnya menjadi pribadi yang cakap dalam
berfikir simbolik. Menurut Piaget, perkembangan kognitif selama stadium
sensorimotor, intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik
sebagai reaksi stimulus sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah
tindakan-tindakan konkrit dan bukan tindakan-tindakan yang imaginer atau hanya
dibayangkan saja, tetapi secara perlahanlahan melalui pengulangan dan
pengalaman konsep obyek permanen lama-lama terbentuk. Anak mampu menemukan
kembali obyek yang disembunyikan.
Pada
tahap pra-operasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan
simbol dan bahasa. Dengan menggunakan bahasa anak mulai dapat memikirkan yang
tidak terjadi sekarang tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia
dapat mengungkapkan sesuatu hal lebih luas daripada yang dapat dijamah, yang
sekarang dilihatnya. Dalam hal sikap pribadi, anak pada tahap ini masih
egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman nilai mulai dapat menggunakan
bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan. Riyanto (2012:123) menjelaskan
sebagai berikut.
Pada
menjelang akhir tahun ke-2 anak telah mengenal simbol/nama yaitu (1) Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di
lingkungan bermainnya dengan pengalaman pribadinya dan karenanya ia menjadi
egois; (2) anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang
membutuhkan berpikir yang dapat dibalik; (3) anak belum mampu melihat dua aspek
dari satu objek atau situasi sekaligus dan belum mampu bernalar secara induktif
dan deduktif; (4) anak bernalar secara tranduktif (dari khusus ke khusus), juga
belum membedakan antara fakta dan fantasi; (5) anak belum memiliki konsep
kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat dan isi); (6) menjelang akhir tahap
ini, anak mampu memberi alas an mengenai apa yang mereka percayai.
Pada
tahap operasional konkret, umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi
reversible (dapat dipertukarkan) dan
kekekalan. Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda, mulai dapat membuat
klasifikasi, namun dasarnya masih pada hal yang konkret. Anak sudah mengetahui
persoalan sebab akibat. Maka dalam penanaman nilai pun sudah dapat dikenalkan
suatu tindakan dengan akibatnya yang baik dan tidak baik.
Adapun
pada tahap operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir
formal, abstrak. Dia dapat berpikir secara deduktif, induktif dan hipotesis
sehingga disebut tahap hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari
perkembangan intelektual. Ia tidak membatasi berpikir pada yang sekarang tetapi
dapat berpikir tentang yang akan datang, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah
dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas
tindakan sudah dapat diajarkan. Pada tahap ini dalam penanaman nilai, anak
sudah dapat diajak diskusi untuk menemukan nilai yang baik dan tidak baik.
Soekamto (dalam Riyanto, 2012: 125) mengaitkan antara teori perkembangan Piaget
dengan perkembangan kognisi menurut Brunner sebagai berikut:
a. Tahap
enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan;
b. Tahap
ikonik; anak memahami melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal;
c. Tahap
simbolis, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh
bahasa dan logika.
2.
Faktor-faktor
yang Berpengaruh dalam Perkembangan Kognitif
Bagi
perkembangan fungsi kognitif ada empat faktor yang perlu:
a. Lingkungan
fisik, artinya kontak dengan lingkungan fisik perlu karena interaksi antara
individu dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru. Namun kontak dengan
dunia fisik tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika
intelegensi individu dapat memanfaatkan pengalaman tersebut karena itu
kematangan sistem syaraf menjadi penting karena memungkinkan anak memperoleh
manfaat secara maksimum dari pengalaman fisik;
b. Kematangan
artinya membuka kemungkinan untuk perkembangan sedangkan kalau kurang hal itu
akan membatasi secara luas prestasi kognitif. Dicapainya koordinasi tangan dan
mata pada bayi, misalnya esensial bagi terbentuknya skema tindakan bayi itu
sendiri “meraih, menangkap, menarik”. Meskipun kematangan suatu kondisi yang
penting bagi perkembangan kognitif, kejadian-kejadian tertentu itu tidak
ditentukan sebelumnya. Perkembangan berlangsung dengan kecepatan yang
berlainan, bergantung pada sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan si
belajar itu sendiri.
c. Lingkungan
sosial artinya penanaman bahasa dan pendidikan pentingnya lingkungan sosial
adalah bahwa pengalaman seperti itu, seperti halnya pengalaman fisik dapat
memacu atau menghambat perkembangan struktur kognitif.
d. Equilibrasi,
artinya proses pengaturan bukannya penambahan pada ketiga faktor yang lain.
Alih-alih ekuilibrasi mengatur interaksi spesifik dari individu dengan
lingkungan maupun pengalaman fisik, pengalaman sosial, dan pengalaman jasmani.
Ekuilibrasi menyebabkan perkembangan kognitif berjalan secara terpadu dan
tersusun dengan baik.
Beberapa
tips untuk mengembangkan kemampuan kognitif pada anak (Wiriana, 2008), antara
lain:
a. Asupan gizi yang memadai dan
disesuaikan dengan kebutuhan anak;
b. Melakukan beberapa latihan fisik dan
relaksasi seperti, brain gym; dan
c. Keluarga sebagai fondasi bagi
perkembangan anak ke depan hendaknya mampu menciptakan suasana yang
harmonis, hangat dan penuh kasih sayang.
3.
Karakteristik
Perkembangan Kognitif
Menurut Desmita (2009:103) karakteristik perkembangan kognitif peserta didik dibagi
dalam dua tahap yaitu tahap usia sekolah (SD) dan Remaja (SMP dan SMA).
a. Usia Sekolah (SD)
Berdasarkan pada teori kognitif Piaget,
pemikiran anak-anak usia sekolah dasar masuk dalam tahap pemikiran
kongkret-operasional, yaitu masa dimana aktivitas mental anak terfokus pada
objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah dialaminya.
Menurut Piaget (dalam Desmita, 2009:104), operasi
adalah hubungan-hubungan logis di antara konsep-konsep atau skema-skema.
Sedangkan operasi kongkret adalah aktifitas mental yang difokuskan
pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa nyata atau kongkrit dapat di ukur.
Anak-anak pada masa operasional kongkret
(masa sekolah SD) telah mampu menyadari konservasi, yakni kemampuan anak untuk
berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak. Hal ini karena
pada masa ini anak telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan
operasi-operasi: negasi, resiprokasi dan identitas.
1) Negasi (Negation)
Pada
masa pra-opersional anak hanya melihat keadaan permulaan dan akhir dari deretan
benda, dengan kata lain mereka hanya mengetahui permulaan dan akhirnya saja
tetapi belum memahami alur tengahnya. Tetapi pada masa kongkret opersional,
anak memahami proses apa yang terjadi diantara kegiatan itu dan memahami
hubungan-hubungan antara keduanya.
2) Hubungan Timbal Balik (Resiprokasi)
Ketika
anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak mengetahui
bahwa deretan benda-benda bertambah panjang, tetapi tidak rapat lagi
dibandingkan dengan deretan lain. Karena anak mengetahui hubungan timbale balik
antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya kurang panjang tetapi lebih
rapat, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-benda yang ada pada kedua deretan
itu sama. Desmita (2009:105). Sehingga dalam masa ini anah mulai mengerti
tentang hubungan timbal balik.
3) Identitas
Gunaris
(dalam Desmita, 2009:73) menjelaskan bahwa pada usia sekolah dasar, anak sudah mengetahui berbagai
benda yang berada dalam suatu deretan, bisa menghitung, sehingga meskipun
susunan dalam deret di pindah, anak tetap mengetahui jumlahnya sama. Jadi, anak
pada usia sekolah (masa Konkrit operasional) dapat mengetahui identitas
berbagai benda dan mulai memahami akan susunan dan urutan tertentu.
b. Remaja (SMP dan SMA)
Pada
masa remaja, kemampuan anak sudah semakin berkembang hingga memasuki tahap
pemikiran operasional formal. Lerner & Hustlsch (dalam Desmita, 2009:75)
menjelaskan bahwa suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada usia
kira-kira 11 dan 12 tahun dan terus berlanjut sampai usia remaja sampai
masa dewasa. Pada masa remaja, anak sudah mampu berfikir secara abstrak,
menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang sudah
tersedia.
Pada
masa remaja, anak sudah mampu berfikir secara abstrak dan hipotesis, sehingga
ia mampu berfikir apa yang terjadi atau apa yang akan terjadi. Mereka sudah
mampu berfikir masa akan datang dan mampu menggunakan symbol untuk sesuatu
benda yang belum diketahui.
4.
Penerapan
Prinsip Teori Perkembangan Kognitif dalam Pembelajaran
Menurut
Piaget, manusia tumbuh beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan
kepribadian, perkembangan sosioemosional, perkembangan kognitif (berpikir), dan
perkembangan bahasa.
Perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung pada sejauh mana anak aktif memanipulasi dan
aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Implikasi teori Piaget dalam
pembelajaran di sekolah yaitu:
a. Memusatkan
perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, dan tidak sekedar pada
hasilnya. Disamping kebenaran jawaban
siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak.
Pengalaman-pengalaman belajar siswa yang sesuai dikembangkan dengan
memperhatikan tahap kognitif siswa yang mutakhir, dan hanya apabila guru penuh
perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan
tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan
pengalaman sesuai yang dimaksudkan.
b. Mengutamakan
peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan
pembelajaran, menurut Piaget, penyajian pengetahuan dan di dalam kelas tidak
ada penekanan melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui
interaksi spontan dengan lingkungannya. Oleh karena itu, guru dituntut untuk
mempersiapkan beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan
secara langsung dengan dunia fisik.
c. Memaklumi
akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget
mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang
sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Oleh
karena itu, guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas
dalam bentuk individu dan kelompok kecil siswa daripada dalam bentuk kelas itu.
Penerapan
teori Piaget dalam pembelajaran berarti secara terus menerus menggunakan
demonstrasi dan merepresentasikan ide secara fisik. Perkembangan kognitif bukan
merupakan akumulasi dari kepingan informasi terpisah namun untuk memahami
lingkungan mereka, sehingga prinsip belajar kognitif yang banyak dipakai dalam
perancangan dan pengembangan sistem intruksional adalah sebagai berikut:
a. Siswa
akan lebih mengingat dan memahami suatu pelajaran apabila pelajaran tersebut
disusun dengan baik berdasarkan pola dan logika tertentu;
b. Penyusunan
materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang lebih sulit. Untuk dapat
melakukan tugasnya dengan baik siswa yang harus terlebih dahulu menguasai
tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana/mudah;
c. Belajar
dengan pemahaman adalah lebih baik daripada dengan hafalan tanpa pengertian.
Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa
sebelumnya. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang akan
dipelajari siswa dengan apa yang diketahui sebelumnya;
d. Kepada
siswa perlu diberikan suatu umpan balik kognitif dengan kata lain siswa harus
mengetahui keberhasilan atau kegagalan dalam tugas melaksanakan tugas yang
diberikan; dan
e. Adanya
perbedaan individual perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi
proses belajar siswa. Perbedaan-perbedaan ini mencakup kemampuan intelektual,
kepribadian serta kebutuhan akan sukses dan cara berpikir.
5.
Kekuatan
dan Kelemahan Teori Perkembangan Kognitif
Setiap teori pasti
memiliki kelebihan yang menjadi ciri utama, tetapi juga mempunyai kelemahan
yang harus dipahami.
a. Kekuatan
1) Teori
ini mengarahkan guru untuk mengenal struktur kognitif siswa secara individu
sehingga dapat lebih mengembangkan kemampuan siswa;
2) Teori
ini juga menjelaskan tingkat perkembangan kognitif manusia mulai bayi hingga
dewasa sehingga memudahkan untuk memilih pelajaran yang tepat bagi anak diusia
tertentu; dan
3) Teori
ini cocok untuk mempelajari pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan
pemahaman, untuk memecahkan dan untuk berkreasi menciptakan sesuatu bentuk atau
ide baru.
b. Kelemahan
1) Teori
ini dianggap lebih dekat kepada psikologi belajar, sehingga aplikasinya dalam
proses belajar menjadi tidak mudah;
2) Teori
ini dianggap sukar dipraktikkan secara murni sebab seringkali kita tidak
mungkin memahami struktur kognitif tersebut menjadi bagian-bagian yang jelas
batasannya. Sering juga pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa itu
sudah terlalu kompleks untuk identifikasi secara tuntas, apabila hanya dengan
menggunakan satu dua pretest.
C.
Masalah Perkembangan
Kognitif Pada Peserta Didik
Dalam
suatu perkembangan, antara individu satu dengan lainnya tentunya tidak sama.
Ada yang memiliki perkembangan sangat cepat dan juga ada yang lambat. Masalah
perkembangan kognitif pada peserta didik merupakan hal yang tidak mungkin untuk
dipungkiri.
Salah satu tugas yang cukup sulit
bagi guru adalah ketika harus merencanakan, mendisain dan mengadakan pusat sumber
belajar yang sesuai dengan metode pengembangan kognitif yang tepat untuk
tingkat kemampuan anak-anak yang berbeda dalam satu kelas. Kenyataan di
lapangan tidak semua guru mempunyai pemahaman yang sama dalam
menginterpretasikan metode pengembangan kognitif. Dimana strategi yang
diberikan bersifat monoton. Hal ini tentunya sangat berhubungan pada
pembelajaran yang berpusat pada anak.
Anak dengan masalah perkembangan kognitif adalah anak
yang mengalami gangguan di satu atau lebih proses dasar psikologi termasuk,
memahami dan menggunakan bahasa (verbal dan tulisan), yang berdampak pada
kemampuan mendengar, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan kalkulasi matematika. Termasuk juga
gangguan persepsi, kerusakan otak, fungsi minimal otak, disleksia, dan aphasia.
Penyebab terjadinya masalah perkembangan kognitif pada seorang anak adalah:
1.
Faktor
fisiologis, seperti kerusakan otak, keturunan, dan ketidak seimbangan proses
kimia dalam tubuh.
2.
Faktor
lingkungan, gizi yang buruk, keracunan, kemiskinan.
Karakteristik dari anak dengan masalah perkembangan kognitif adalah:
1.
Berkaitan
dengan atensi, persepsi, gangguan memori, proses informasinya.
2.
Secara
akademik, bermasalah pada kegiatan membaca, menulis, matematika dan berbahasa
verbal.
3.
Secara
sosial dan emosional, umumnya memiliki harga diri
yang rendah karena dianggap sebagai anak yang tidak mampu. Dengan kesulitannya ini anak menjadi
mengganggap dirinya tidak mampu untuk melakukan
sesuatu.
4.
Secara
perilaku, mereka menjadi sulit untuk mengendalikan gerak tubuhnya, tidak mau duduk diam, berbicara terus, melakukan agresi fisik dan verbal.
Proses identifikasi, apabila ditemukan anak dengan
ciri-ciri seperti yang telah diuraikan di atas, maka orangtua atau guru harus
segera membawa ke ahlinya agar mendapat penanganan yang lebih tepat. Semakin dini penanganannya maka semakin besar
kemungkinan anak untuktumbuh dan bekembang seperti anak normal pada umumnya.
Salah satu masalah perkembangan kognitif yang banyak
muncul adalah gangguan kesulitan pemusatan perhatian. Ciri-ciri dari anak yang
mengalami kesulitan pemusatan perhatian tersebut adalah
1.
Menghindari,
enggan dan mengalami kesulitan melaksanakan tugas- tugas yang membutuhkan ketekunan yang berkesinambungan;
2.
Sering
menghilangkan benda-benda yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas atau
kegiatan lain. Sering sulit
mempertahankan dan memusatkan perhatian pada waktu melaksanakan tugas atau
kegiatan bermain (perhatian mudah teralih);
3.
Seperti
tidak mendengarkan pada waktu diajak berbicara secara langsung;
4.
Mengalami
kesulitan berkonsentrasi di dalam kelas;
5.
Sering
sulit mengatur tugas dan kegiatan-kegiatan;
6.
Pelupa
dengan kegiatan sehari-hari;
7.
Pada waktu melaksanakan
tugas, tampak sering melamun atau bengong;
8.
Tidak
mampu mengikuti perintah atau gagal menyelesaikan tugas sekolah;
9.
Sering
mencari alasan untuk berhenti sejenak pada waktu melaksanakan tugas;
10.
Mengerjakan
tugas-tugas secara sembarangan;
Dalam lingkup anak berkebutuhan khusus juga dikenal
istilah Attention-Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) yang secara umum dapat diidentifikasi dari tiga hal, yaitu
tidal perhatian (inattention),
hiperaktif, dan impulsif. Tidal perhatian berarti
anak mengalami kesulitan memusatkan dan mempertahankan perhatian terhadap tugas yang diberikan sehingga perhatiannya mudah
teralihkan. Hiperaktif berarti anak tampak
memiliki energi yang besar sekali sehingga cenderung mudah gelisah dan sulit
untuk bersikap tenang dalam mengerjakan suatu aktivitas. Impulsif berarti anak
cenderung mengalami kesulitan mencegah perilaku yang tidal sesuai seperti
berbicara secara spontan tanpa dipikirkan terlebih dulu atau terlibat dalam perilaku yang destruktif. Ciri-ciri anak Hiperakvfiras dan Impulsfiras adalah
1.
Selalu
dalam keadaan `siap gerak;
2.
Tidak
bisa duduk diam;
3.
Mudah
terangsang dan impulsif;
4.
Sulit
dikendalikan;
5.
Sering
berbicara berlebihan;
6.
Sering
menimbulkan kegaduhan;
7.
Mudah
mengalami kecelakaan;
8.
Barang-barang
dan alat bermain yang dipakai sering rusak;
9.
Sering
melontarkan jawaban sebelum selesai ditanyakan;
10.
Meninggalkan
tempat duduk di kelas;
11.
Tidak
dapat duduk tenang;
12.
Sulit
menunggu giliran;
13.
Sering
memaksakan diri terhadap orang lain;
14.
Perilaku
agresif, mudah overstimulasi;
15.
Tidak
matang secara sosial;
16.
Rendah
harga diri dan sangat mudah frustrasi;
D.
Manfaat
Mengetahui Perkembangan Kognitif Bagi Orang Tua
Keluarga
merupakan satu kesatuan hidup yang menyediakan segala situasi. Sebagai satu
kesatuan hidup bersama (sistem sosial)
keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ikatan kekeluargaan membantu
anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antarpribadi,
kerjasama, disiplin, tingkah laku yang baik serta pengnakuan akan kewibawaan.
Ayah
dan ibu dalam suatu keluarga disebut juga dengan orang tua. Hasbullah (2011:88)
menjelaskan bahwa sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sangat
wajar dan logis jika tanggung jawab perkembangan anak terletak di tangan orang
tua, karena ia adalah darah dagingnya.
Perkembangan kognitif sendiri sudah
dapat dipersiapkan sejak dalam kandungan sampai dewasa. Asupan gizi yang sehat
dan seimbang menjadi fondasi bagi perkembangan kognitif. Calon bayi juga dapat
dirangsang dengan cara memberikan stimulus atau rangsangan seperti, mengajak
bercakap-cakap, mendengar musik, melakukan relaksasi, menjaga stabilitas emosi
pada ibu. Setelah lahir, rangsangan yang diberikan juga tetap diberikan. Dalam
hal ini tugas dari orang tua untuk mengetahui perkembangan kognitif anak sangat
diperlukan.
Salah satu perkembangan fisik yang
mempengaruhi perkembangan kognitif adalah perkembangan otak (Wiriana, 2008).
Otak berkembang paling pesat pada masa bayi. Pada masa kanak-kanak otak tidak
bertumbuh dan berkembang sepesat masa bayi. Pada masa awal kanak-kanak,
perkembangan otak dan sistem syaraf berkelanjutan. Otak dan kepala bertumbuh
lebih pesat daripada bagian tubuh lainnya. Bertambah matangnya otak,
dikombinasikan dengan kesempatan untuk mengalami suatu pengalaman melalui
rangsangan dari lingkungan menjadi sumbangan terbesar bagi lahirnya
kemampuan-kemampuan kognitif pada anak. Artinya, perkembangan kognitif menjadi
optimal jika ada kematangan dalam pertumbuhan otak serta ada rangsangan dari
lingkungannya.
Kasih sayang merupakan suatu aspek
penting dari relasi keluarga pada masa bayi yang dapat mempengaruhi
perkembangan kognitif pada anak ke depannya (Wiriana, 2008). Penting diperhatikan bahwa
kasih sayang pengasuh pada tahun-tahun pertama kehidupan anak menjadi kunci
pada perkembangan selanjutnya. Seorang pakar psikologi perkembangan, Diana
Baumrind meyakini bahwa orang tua hendaknya tidak menghukum atau mengucilkan
anak namun sebagai gantinya orang tua harus mengembangkan aturan-aturan dan
mencurahkan kasih sayang pada anak. Jika
setiap orang tua paham perkembangan kognitif anak, maka ia akan:
1. Memberikan pola asuh yang baik pada
anak;
2. Memberi asupan gizi yang tepat pada
anak;
3. Menciptakan suasana kondusif di
dalam keluarga;
4. Melayani anak untuk
belajar dengan sepenuh hati;
5. Orang tua membantu
belajar anak tersebut;
6. Orang tua memberikan beberapa
latihan fisik dan relaksasi seperti, brain
gym;
7. Orang tua memberi banyak
cinta, kasih sayang dan disiplin;
8. Memberikan Penghargaan
atas Keberhasilan anak;
9. Memasukkan anak tersebut
kedalam lembaga bimbingan.
E.
Peran
Guru dalam Memotivasi Perkembangan Kognitif Peserta Didik Pada Proses
Pembelajaran
1.
Perkembangan Kognitif Peserta Didik
dalam Proses Pembelajaran
Dalam suatu proses pembelajaran
pasti terdapat guru. Hamalik (2010:40) menyatakan bahwa
guru adalah pribadi kunci (key person)
di kelas karena besar pengaruhnya terhadap perilaku dan belajar para siswa,
yang memiliki kecenderungan meniru dan beridentifikasi. Hal-hal yang
berpengaruh itu antara lain adalah otoritas akademis dan non akademis,
kesehatan, mental, kesenangan, cita-cita dan sikap, suasana kelas yang
diciptakan oleh guru dan tindakannya. Guru memegang peranan penting dalam upaya
mencapai tujuan pendidikan, dan karenanya peningkatan mutu guru sangat penting.
Kepribadian guru juga berpengaruh secara langsung dan kumulatif terhadap
perilaku siswa.
Dalam
proses pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada berbagai dinamika yang
berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Perubahan perkembangan yang
terjadi pada peserta didik harus mendapat perhatian dari guru, karena beranjak
dari pemahaman ini guru dapat memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Pada
proses pembelajaran, guru juga harus memperhatikan soal yang digunakan untuk
evaluasi hasil belajar. Purwanto (2011:50) menjelaskan bahwa hasil belajar
kognitif merupakan perubahan perilaku yang terjadi dalam wawasan kognisi.
Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi kegiatan sejak dari penerimaan
stimulus eksternal oleh sensori, penyimpangan dan pengolahan dalam otak menjadi
informasi hingga pemanggilan kembali informasi ketika diperlukan untuk
menyelesaikan masalah. Hasil belajar kognitif tidak merupakan kemampuan
tunggal. Kemampuan yang menimbulkan perubahan perilaku dalam domain kognitif
melalui beberapa tingkat atau jenjang. Arikunto (1995: 137) membagi dan
menyusun secara hierarkis tingkat hasil belajar kognitif dari yang paling
sederhana hingga yang kompleks. Tingkatan itu adalah hafalan/pengetahuan (C1),
pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5) dan evaluasi
(C6).
Kemampuan
menghafal/pengetahuan
(knowledge) merupakan tingkatan hasil
belajar yang paling sederhana. Kemampuan ini merupakan kemampuan memanggil
kembali fakta yang disimpan dalam otak digunakan untuk merespon suatu masalah.
Tuntutan siswa pada tingkatan ini adalah mendefinisikan, mendeskripsikan,
mengidentifikasikan, mendaftarkan, menjodohkan, menyebutkan, menyatakan dan
mereproduksi. Kemampuan pemahaman (comprehension)
adalah kemampuan untuk melihat hubungan fakta dengan fakta. Kemampuan pemahaman
menuntut agar peserta didik dapat mempertahankan, membedakan, menduga, menerangkan,
menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberi contoh, menuliskan kembali dan
memperkirakan. Kemampuan penerapan (application)
adalah kemampuan kognitif untuk mengubah, menghitung, mendemonstrasikan,
menemukan, memanipulasi, memodifikasi, mengoprasikan, meramalkan, menyiapkan,
menghasilkan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan dan menggunakan. Kemampuan
analisis (analysis) adalah kemampuan
memperinci, menyusun diagram, membedakan, mengidentifikasi, mengilustrasikan,
menyimpulkan, menunjukkan, menghubungkan, memilih, memisahkan dan membagi.
Kemampuan sintesis (synthesis) adalah
kemampuan untuk mengategorikan, mengombinasikan, mengarang, menciptakan,
membuat desain, memodifikasi, mengorganisasikan, menyusun, membuat rencana,
mengatur kembali, merekonstruksi, menghubungkan, mengorganisasikan, merevisi,
menuliskan kembali dan menceritakan. Kemampuan evaluasi (evaluation) adalah kemampuan untuk menilai, membandingkan,
menyimpulkan, mempertentangkan, memutuskan, menafsirkan, menghubungkan, dan
membantu (support).
Kecerdassan dan kemampuan berpikir
yang dimiliki peserta didik kebanyakan ada yang tidak dikembangkan dengan baik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kecakapan kognitif peserta didik
meliputi (Syah, 2011: 83):
a. Dorongan dari Luar (motif ekstrinsik)
Dorongan
dari luar mengakibatkan peserta didik belajar hanya untuk mencapai kelulusan.
Mereka kebanyak tidak berkeinginan untuk lebih menguasai materi pelajaran
secara mendalam karena tujuan mereka adalah untuk lulus atau naik kelas saja.
Dorongan dari luar bisa datang dari pihak sekolah dan orang tua.
b. Dorongan dari dalam diri peserta
didik (motif intrinsik)
Motif intrinsik biasanya berhubungan
dengan minat peserta didik terhadap materi pelajaran. Dorongan dari dalam diri
berarti peserta didik memang tertarik dan membutuhkan materi-materi pelajaran
yang diberikan oleh guru.
2.
Peran Guru dalam Memotivasi
Perkembangan Kognitif Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran
Perkembangan
kognitif peserta didik dalam proses pembelajaran tidak bisa lepas dari peran
guru sebagai tenaga pendidik. Untuk mengembangkan kecerdasan dan kemampuan
berpikir peserta didik tidak hanya bisa dilakukan oleh peserta didiknya saja
melainkan juga bisa dari peran guru. Guru bisa memberi motivasi atau
dorongan-dorongan kepada peserta didik agar mereka bisa memanfaatkan kecerdasan
kognitifnya.
Pemberian
motivasi merupakan hal yang penting dalam proses pembelajaran. Motivasi dapat
mempengaruhi perkembangan kemampuan kognitif peserta didik. Peserta didik yang
mendapat motivasi lebih banyak akan lebih terdorong untuk selalu mengembangkan
kemampuannya. Peserta didik akan lebih rajin belajar dan aktif dalam proses
pembelajaran. Motivasi merupakan salah satu syarat dalam proses pembelajaran
yang efektif.
Apabila
guru dapat memotivasi peserta didik dengan menggunakan cara-cara dengan baik,
peserta didik akan dengan mudah mengembangkan kemampuan kognitifnya. Upaya
pengembangan fungsi ranah kognitif akan berdampak positif juga terhadap ranah afektif dan pikomotor
peserta didik (Syah, 2011:83).
Salah
satu fungsi motivasi dalam kegiatan belajar adalah fungsi membangkitkan (arousal function). Fungsi membangkitkan
diartikan sebagai kesiapan atau perhatian umum siswa yang diusahakan oleh guru
untuk mengikutsertakan peserta didik dalam belajar. Untuk mengembangkan
kecerdasan kognitif peserta didik, guru bisa mengajak peserta didik untuk aktif
dalam proses pembelajaran. Peserta didik harus dilatih untuk terus menggunakan
kecerdasan kognitifnya.
Dengan
adanya motivasi, peserta didik akan terdorong untuk selalu mengembangkan
kemampuan kognitifnya. Motivasi juga akan dapat membangkitkan keinginan peserta
didik untuk terus merubah perilakunya menjadi lebih baik. Fungsi motivasi
menurut Hamalik (2003:161) meliputi berikut ini:
a. Mendorong timbulnya kelakuan atau
suatu perubahan;
b. Motivasi berfungsi sebagai pengarah;
c. Motivasi berfungsi sebagai penggerak.
Motivasi
sendiri dapat timbul dari dalam diri individu atau peserta didik dan dapat juga
timbul dari luar diri peserta didik. Menurut pendapat Usman (1991:24) Motivasi terdiri dari motivasi
intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
a. Motivasi intrinsik
Motivasi
intrinsik timbul dari dalam diri peserta didik tanpa adanya pengaruh dari luar.
Motivasi ini timbul atas kemauan peserta didik sendiri.
b. Motivasi ekstrinsik
Motivasi
ekstrinsik timbul karena pengaruh dari luar peserta didik. Cara membangkitkan
motivasi ekstrinsik dalam rangka menumbuhkan motivasi instrinsik adaalah:
1) Kompetisi (persaingan): guru
menciptakan persaingan diantara peseta didik untuk meningkatkan prestasi
belajarnya.
2) Minat yang besar: Motif akan timbul
jika peserta didik memiliki minat yang besar terhadap materi pelajaran.
3) Mengadakan penilaian atau tes: pada
umumnya semua peserta didik mau belajar dengan tujuan memperoleh nilai yang
baik. Jadi, angka atau nilai merupakan motivasi yang kuat bagi siswa.
Tugas
guru dalam hal ini adalah menggunakan pendekatan mengajar yang memungkinkan
peserta didik menggunakan strategi belajar yang berorientasi pada pemahaman
terhadap isi materi pelajaran. Selanjutnya, guru juga harus mengajak peserta
didiknya untuk memecahakan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang
dimiliknya (Syah, 2011:84). Dengan memberikan sebuah topik permasalahan yang
menarik untuk dibahas akan membangkitkan peserta didik untuk berpartisipasi
dalam memecahkan permasalahan tersebut.
Peran
guru dalam proses pembelajaran sangat banyak. Peranan yang dianggap dominan
(Usman, 1991:7) dalam memotivasi perkembangan kecerdasan peserta didik adalah:
a. Guru sebagai demonstrator
Guru
hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan
disampaikan. Sebagai pengajar guru harus membantu perkembangan anak didiknya
untuk dapat menerima, memahami, serta menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu
guru hendaknya mampu memotivasi peserta didik untuk senantiasa belajar dalam
berbagai kesempatan.
b. Guru sebagai pengelola kelas
Sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu
mengelola kelas karena kelas merupakan lingkungan belajar. Tujuan umum
pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas bagi
bermacam-macam kegiatan belajara dan mengajar agar mencapai tujuan yang baik.
Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
menggunakan alat-alat belajar dan membantu peserta didik untuk memperoleh hasil
yang diharapkan.
c. Guru sebagai mediator dan
fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena
pendidikan merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar
mengajar.
d. Guru sebagai evaluator
Penilaian
perlu dilakukan karena dengan penilaian guru dapat mengetahui keberhasilan
pencapaian tujuan, penguasaan peserta didik terhadap pelajaran, serta ketepatan
atau keefektifan metodemengajar.
Guru
juga bisa menggunakan cara lain untuk mendorong peserta didik agar selalu
menggunakan kemampuan berpikirnya. Peserta didik harus diajak untuk selalu
belajar agar kemampuan berpikirnya terus berkembang. Guru dapat menggerakan
atau membangkitkan motivasi belajar peserta didiknya dengan berbagai cara seperti
berikut (Hamalik, 2003:166).
a. Memberi angka
Peserta
didik yang mendapat angka atau nilai yang baik akan mendorong motivasi
belajarnya menjadi lebih besar. Sebaliknya peserta didik yang mendapat nilai
kurang, mungkin menimbulkan frustasi atau dapat juga menjadi pendorong agar
belajar lebih baik. Hal ini tergantung dari bagaimana peserta didik menyikapi
hal tersebut. Jika peserta didik tersebut tidak mudah putus asa, nilai yang
jelek akan lebih memotivasi peserta didik untuk lebih giat belajar.
b. Pujian
Pemberian
pujian kepada peserta didik atas hal-hal yang telah dilakukan dengan berhasil
besar manfaatnya sebagai pendorong belajar. Pujian menimbulkan rasa puas dan
senang. Dengan pujian tersebut peserta didik akan terdorong untuk terus
mengembangkan kecerdasannya dengan giat belajar dan aktif dalam proses
pembelajaran.
c. Hadiah
Cara
ini dapat dilakukan oleh guru dalam batas-batas tertentu, misalnya pemberian
hadiah kepada peserta didik yang menunjukkan hasil belajar yang baik. Dengan
cara ini peserta didik akan berlomba-lomba untuk terus meningkatkan
keceradasannya dengan selalu giat belajar, berpikir untuk memecahkan sebuah
masalah dsb.
d. Kerja kelompok
Dalam
kerja kelompok dilakukan kerja sama dalam belajar. Setiap anggota kelompok
biasanya memiliki perasaan untuk mempertahankan nama kelompoknya sehingga hal
ini menjadi pendorong yang kuat dalam proses pembelajaran.
e. Penilaian
Penilaian
secara kontinu atau berkelanjutan akan mendorong peserta didik untuk belajar
karena setiap peserta didik memiliki kecenderungan untuk memperoleh hasil yang
baik. Disamping itu, peserta didik selalu mendapatkan tantangan dan masalah
yang harus dihadapi dan dipecahkan sehingga mendorong belajar lebih teliti.
f. Karyawisata dan ekskursi
Cara
ini dapat membangkitkan motivasi belajar karena dalam kegiatan ini peserta
didik akan mendapat pengalaman langsung dan bermakna baginya. Objek-objek yang
dikunjungi haruslah objek yang menarik minat peserta didik. Karyawisata juga
bermanfaat untuk menghilangkan ketegangan-ketegangan dalam proses pembelajaran
sehingga peserta didik dapat belajar dengan suasana yang menyenangkan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Perkembangan
kognitif merupakan serangkaian perubahan secara dalam
organisme akibat perubahan kematangan dan kesiapan fisik yang memiliki potensi
untuk melakukan suatu aktivitas melalui
proses belajar mengacu pada kegiatan mental yang mencakup segala bentuk mendeteksi,
menafsirkan, mengelompokkan, mengingat informasi, mengevaluasi, menyimpulkan,
persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, penalaran dan memikirkan
lingkungannya.
2.
Mekanisme utama yang
memungkinkan anak maju dari satu tahap pemungsian kognitif ke tahap berikutnya
oleh Piaget disebut asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium. Proses perkembangan
dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu heriditas, pengalaman, transmisi sosial dan
ekuilibrasi. Piaget
membagi perkembangan kognitif seseorang dalam empat tahap: sensori motor
(0-2 tahun), pra operasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan
operasional formal (11 tahun-dewasa). perkembangan fungsi kognitif ada empat
faktor yaitu: (a) lingkungan fisik; (b) kematangan; (c) lingkungan sosial; dan
(d) equilibrasi. Penerapan prinsip teori perkembangan kognitif dalam pembelajaran,
yaitu dengan: (a) memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak;
(b) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri; dan (c) Memaklumi akan
adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.
3.
|
Penyebab
terjadinya masalah perkembangan kognitif pada seorang anak adalah faktor fisiologis dan faktor
lingkungan. Salah satu masalah
perkembangan kognitif yang banyak muncul adalah gangguan kesulitan pemusatan
perhatian dengan ciri-ciri (a) menghindari, enggan dan mengalami kesulitan
melaksanakan tugas- tugas; (b) kesulitan berkonsentrasi di dalam kelas; dan (c)
pelupa dengan kegiatan sehari-hari. Dalam lingkup anak berkebutuhan khusus secara umum dapat diidentifikasi
dari tiga hal, yaitu tidal perhatian (inattention), hiperaktif, dan
impulsif.
4.
Manfaat
orang tua dalam memahami perkembangan kognitif anak adalah orang tua akan
selalu memberikan pelayanan terbaik bagi anaknya. Pelayanan terbaik dilakukan
dengan cara (a) memberikan
pola asuh yang baik pada anak; (b) memberi asupan gizi yang tepat pada anak;
(c) menciptakan suasana kondusif di dalam keluarga; (d) melayani anak untuk belajar dengan sepenuh hati; (e) orang tua membantu
belajar anak tersebut; (f) memberikan beberapa latihan fisik dan
relaksasi; (g) memberi banyak cinta, kasih sayang dan
disiplin; (h) memberikan Penghargaan atas Keberhasilan anak; dan (i) memasukkan
anak tersebut kedalam lembaga bimbingan jika masih dirasa kurang.
5.
Peran guru perkembangan
kognitif peserta didik pada proses pembelajaran antara lain dengan menyusun
instrument hasil belajar dengan memperhatikan enam tingkatan hasil belajar
kognitif. Enam tingkatan tersebut adalah hafalan/pengetahuan (C1), pemahaman
(C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5) dan evaluasi (C6). Selain
itu, guru juga memberi motivasi pada siswa. Guru menggerakan atau membangkitkan
motivasi belajar peserta didik dengan cara (a) memberi angka; (b) pujian; (c)
hadiah; (d) kerja kelompok; (e) penilaian; dan (f) karyawisata.
B.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah dikaji,
penulis dapat menganjurkan saran sebagai berikut:
1. Guru dan orang tua wajib memahami perkembangan kognitif
anak.
2. Peran serta pemerintah, masyarakat, pengajar, dan orang
tua perlu untuk mengawasi perkembangan kognitif setiap anak dan peserta didik.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi. 1995. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Dariyo,
Agoes. 2011. Psikologi Perkembangan Anak
Tiga Tahun Pertama. Bandung: PT Refika Aditama
Desmita.
2009. Psikologi Perkembangan Peserta
Didik. Bandung: Rosdakarya
Hamalik,
Oemar. 2010. Psikologi Belajar &
Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Hasbullah.
2011. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Press
Myers. 1996. “Perkembangan Kognitif”. Dalam https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=jurnal+internasional+perkembangan+kognitif
. Diakses 20 Oktober 2014
Purwanto, Ngalim.
2011. Evaluasi Hasil Belajar.
Surakarta: Pustaka Pelajar
Riyanto, Yatim. 2012.
Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana
Suparno, Paul. 1997. Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta. Anisius
Suparno, Paul, dkk. 2002. Pendidikan
Budi Pekerti di Sekolah. Yogyakarta: Kanisus
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: Rosdakarya
Syaodih, Ernawulan. 2012. “Psikologi
Perkembangan”. Dalam http://makalahpsikologi+perkembangan+ernawulansyaodih. Diakses 20 Oktober 2014.
Usman, Moh Uzer. 1991. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Yusuf, Syamsu.
2011. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Bandung: Rosdakarya
Wiriana, 2008. “Perkembangan kognitif
pada anak”. Dalam http://www.doctoc.com/docs/20992333/perkembangankognitif-padaanak. Diakses 20 Oktober 2014.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteterimakasih sebelumnya, saya bertanya dimana anda mengekspos solusi dari permasalahan? dalam rumusan masalah ada solusi. tetapi dalam pemnbahasan belum ada.
ReplyDeleteyah maaf mbak, mngkin pada sya upload, kehapus...maaf yah terima kasih masukannya
ReplyDeleteSalam kenal mas dengan ane Guru Pembelajar 2017 sebagai Guru guru pembelajar online dari tg balai
ReplyDelete